TEORI
KONNEKSIONISME THORNDIKE
Menurut
Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi anatara
peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori
“connectionism”. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan
pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila
knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan
Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada
berbagai respon terhadap berbagai situasi, adal eliminasai terhadap berbagai
respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
METODE
PENELITIAN:
1.
Hukum pengulangan (qanun at-Tikrar)
Thorndike
bekerja pada universitas Columbia guna menelurkan para pendidik yang paham
mengenai watak manusia dan perbedaan tiap-tiap personal melalui bukunya
mengenai prinsip-prinsip belajar yang berdasarkan atas nafsiyah (kepribadian)
dan juga bukunya mengenai pendidikan. Sebelumnya Thorndike fokus terhadap
pengajaran terhadap siswa-siswa yang kemudian perlahan-lahan dia tinggalkan dan
lebih memfokuskan perhatiannya terhadap membangun psikologi pendidikan yang
baru, yaitu ilmu yang sesuai dengan pendekatan eksperimen yang pengembangannya
terpusat di pusat kajian Jerman.
Thorndike lebih banyak dipengaruhi oleh
teori Darwin mengenai perilaku hewan.
Ketika menetapkan metode penelitian ilmiahnya,
Thorndike benyak dipengaruhi oleh pendapat para pendahulunya. Maka eksperimen
Thorndike mengenai hukum pengulangan, pelatihan, law of use dan law
of disuse memberikan hasil yang dipengaruhi
oleh tulisan Ariston. Aristo telah menulis penelitiannya mengenai daya ingat,
yaitu kecepatan kita mengingat sesuatu yang sering kita pikirkan dan
bersamaannya antara kekuatan kebiasaan dan respon secara alami. Namun aristo
juga memberikan batasan mengenai karakteristik pengulangan secara jelas dan
detail bahwa pengulangan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kekuatan
untuk berfikir (mengingat). Contoh: terkadang manusia mampu untuk mengingat
sesuatu yang dilihatnya sekali dengan gembaran yang lebih jelas, dari pada
mengingat sesuatu yang berulang kali dilihatnya.
Thorndike
meyakini bahwa ‘pengulangan’ memberikan pengaruh secara langsung terhadap
pembentukan sikap. Kepercayaan Thorndike diperkuat oleh eksperimen Pevlov
mengenai perilaku menangkas (memberikan respon) tertentu, dan juga hasil
eksperimen Waston mengenai respon anak aktif pada tahun 1920. Pada eksperimen tersebut memberikan hasil
yang sama dengan eksperimen Pavlov. Para ilmuwan juga mulai tampak menerima
pendapat mengenai ‘perilaku menangkas’ tertentu adalah pola dasar dari beberapa
pola belajar. Dan ketika pendapat ini dipraktekkan
dalam proses belajar mengajar di dalam kelas oleh para pendukung teori (hasil
eksperimen) Pavlov, mereka menunjukkan dengan gambaran yang tidak langsung
terhadap metode pengajaran dengan memberikan pelatihan semaksimal mungkin pada
setiap mata pelajaran.
2. Hukum pelatihan (Law of exercise)/ (qanun al-miran)
Hukum pelatihan adalah generalisasi atas hukum
penggunaan (law of use) dan hukum non penggunaan (law of disuse).
Hukum pelatihan ini berarti bahwa jika perilaku (perubahan hasil belajar)
sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin
kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih
atau tidak digunakan maka perilaku tersebut akan terlupakan atau akan menurun.
3. Hukum efek (Law
of Effect)/ (qanun al-atsar)
Konsep
stimulus ganjaran (al-istabah) atau pemberian ganjaran (hadiah) dan
hukuman (dalam kondisi darurat) bukanlah konsep yang baru. Pada masa Thorndike
ini banyak para pengajar yang menggunakan konsep pemberian ganjaran dan
hukuman. Pendapat para ahli filsafat banyak membantu dalam menjelaskan konsep
ini, akan tetepi teori belajar yang dikemukakan Thorndike belumlah ditemukan
sebelum adanya penemuan ilmiah mengenai ilmu fungsi-fungsi alat indra dan ilmu
mengenai syaraf-syaraf yang muncul pada abad 19 M.
Herbert Spenser
membantah terhadap pendapat yang mengatakan bahwa pencarian rasa enak dan
menjauhi rasa sakit adalah hasil perkembangan secara alami.
Sesuai
dengan ini H.L Hulencors menetapkan konsep pertama mengenai hukum efek (law
of effect) pada tahun 1877: “bahwa hukum kehendak (law of will) itu
ada pada salah satu perspektif yang kuat, dalam artian bahwa rasa ke-enakan/
kenikmatan itu bisa mempertahankan gerakan yang bisa menimbulkan rasa ke-enakan
tersebut. Karena, secara keselurahan daya akal pada saat itu tertuju pada
kebiasaan yang bisa menimbulkan timbulnya rasa ke-enakan itu sendiri. Demikian
itu juga disertai dengan mendalamnya merasakan sesuatu atau ter-ecapnya sesuatu
tersebut, atau mendalamnya hubungan antara 2 perbuatan atau hubungan antara
berbagai macam perbuatan yang berturut-turut. Itu semua, bisa menimbulkan
kepada kewaspadaan (dalam terjadinya sesuatu tersebut) serta terbekas selamanya
dalam kondisi jiwa.
Keserupaan
yang muncul seperti ini dikarenakan adanya stimulus yang menyenangkan. Maka
dikatakan bahwa stimulus yang menyenangkan ini dasar munculnya usaha belajar
manusia.
Penelitian
Thorndike mengenai cara belajar binatang, dia yakin bahwa binatang pada
akhirnya menghubungkan antara respon yang berhasil dengan posisi (sikap) yang
ada, karena rasa ke-enakan yang dihasilkan hubungan tersebut bagi binatang
menjadi bagian yang tidak terbagi atas respon yang berhasil dan hilangnya rasa
ke-enakan, dalam artian .....
Dalam
hukum efek (law of effect) terdiri atas faktor ‘kepuasan’, faktor
ketidak-puasan (dzoiq) yang dibarengi dengan faktor pengulangan,
penguatan, kontinuitas, dan faktor kesiapsiagaan yang menjadi satu ketentuan
hukum yang satu, yaitu membentuk suatu kebiasaan. Ini seperti halnya teori yang
dikemukakn James mengenai belajar. Pada saat itu juga Thorndike membenarkan
pendapat mengenai faktor-faktor belajar (dalam hukum law of effect) dari 2
perspektif, yaitu 1) perspektif fisiologi, dan 2) perspektif dinamik. Dalam
perspektif psikologi, Thorndike menjelaskan belajar melalui konsep hukum
koneksionisme antara otak yang diusahakan. Sedangkan dalam perspektif dinamik hukum-hukum
ini sendiri menjadi hukum koneksionisme. Secara jelas pendapat Thorndike mengenai hukum
efek bisa dijelaskan sebagai berikut:
“ hubungan
antar sel-sel saraf itu menjadi kuat manakala itu digunakan untuk melakukan
perbuatan yang menghasilkan sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya hubungan itu
menjadi lemah manakala digunakan untuk melakukan sesuatu yang menghasilkan
sesuatu yang tidak menyenangkan (ghoiru murihah)”.
Sedangkan
menurut perspektif dinamik, bahwa apapun kondisi akal atau segala apapun
aktivitas dalam suatu posisi yang tidak menyebabkan kesusahan (tidak
menyenangkan) maka perilaku tersebut akan memiliki hubungan dengan posisi/
keadaan tersebut. Yang selanjutnya, apabila posisi/ keadaan terjadi
berulang-ulang maka kemungkinan besar perilaku (kondisi akal) itu akan terjadi
lagi. Jika respon menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antar stimulus dengan
respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggunya)
efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons
tersebut.
Ringkasnya,
Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan
cenderung diperlemah jika akibanya tidak memuaskan.
Metode penelitian
yang berhubungan dengan kata-kata dan angka-angka:
Sebagian besar
eksperimen Thorndike berkisar mengenai belajar siswa untuk membaca dan
berhitung, khususnya mengenai teraturnya antar hubungan dan ber-urutannya
hubungan-hubungan tersebut, begitu juga mengenai fungsi akal (otak). Salah satu
eksperimennya adalah mengenai efek (hasil) belajar membaca dari berbaga metode/
cara yang berbeda-beda untuk membaca suatu cerita. Yang pertama, membaca beberapa
kata dan satu ibarat (ungkapan) utuh (gabungan) dan sebagian yang lain ungkapan
yang terpisah. Yang kedua, membaca cerita secara sempurna dan meringkasnya
(merangkum) nya sehingga menangkap ceritanya dan runtutan gagasan cerita
tersebut, itu akan ditemukan hubungan-hubungan yang lebih kuat dari pada
membaca secara sebagian dari beberapa kata dan ungkapan yang saling terpisah
yang tidak itu tidak akan membantu anak untuk membentuk suatu
hubungan-hubungan.
Studi tentang
binatang
Kajian mengenai
cara belajar pada hewan ini dimunculkan oleh Thorndike melalui sejumlah
eksperimennya terhadap kucing, anjing, kura-kura dan ayam, setelah itu ia juga
melakukan eksperimen terhadap ikan dan monyet ketika ia studi di universitas
Harvard pada tahun 90-an pada abad 19 M. Dalam studinya yang pertama ini, ia
menghasilkan sebagai berikut:
“ ada
beberapa kondisi tertentu dimana hewan merasa lapang dan tidak melakukan sesuatu
apapun, yaitu kondisi yang memuaskan, dan juga ada beberapa kondisi dimana
hewan merasa tertekan, akan tetapi ia
bisa menghilangkannya dengan cara melakukan sesuatu sehingga ia bisa
menyingkirkannya. Hubungan-hubungan yang diciptakan oleh perilaku hewan, yakni
hubungan antara situasi dan respon yang disertai dengan kondisi yang memuaskan,
maka asosiasi antar situasi dan respon tersebut akan menguat. Adapun apabila
asosiasi antara situasi dan respon tersebut yang mengakibatkan sesuatu
(kondisi) yang tidak mengenakkan maka asosiasi antar situasi dan respon
tersebut akan melemah dan menurun”.
Dari studi ini
Thorndike bisa menetapkan 4 prinsip penting belajar:
1.
Multiple respons to the same situations/ al-istijabah al-muta’addidah li al mauqif al-khoriji al wahid
(berbagai respon dalam satu situasi). Yaitu, bahwa hewan memiliki banyak
pilihan dalam merespon suatu situasi tertentu.
Contoh: ketika binatang berusaha melompat ke dinding
2.
Law of the learner as set /
law of the learner as set yaitu Hukum set atau attitude berpendapat bahwa
organisme akan melakukan aksi dalam satu situasi yang diberikan, sesuai dengan
keadaan dan sikapnya untuk membuat respon tertentu.
3.
Law of partial activity/ qanun an-nasyath al-juz’iy. Thorndike menemukan bahwa dia bisa mengajari seekor kucing untuk
memberikan respon dengan cara tertentu, dan pada suatu situasi tertentu. Ketika
meletakkan kucing pada situasi tertentu
terdiri atas sebagian unsur materi yang ada pada situasi pertama. Maka, kucing
akan berusaha mencari sebagian unsur yang ada (seperti) pada situasi pertama.
Contoh: memegang pintu dan lewat bagi kucing. Belajar model ini disebut belajar dengan cara
partial activity.
4. Law of
assimilation/ qanan at-tamastul. Dalam
suatu kondisi yang tidak menarik respon asli atau respon yang diusahakan, maka
respon yang ditimbulkan oleh beberapa situasi tertentu akan menjadi terhubung
dengan situasi yang baru yang menyerupainya.
Contoh: apabila kucing diletakkan dalam suatu box/ kotak yang
kucing tersebut dapat meminum susu melalui pintu tertentu, maka ketika kucing
itu diletakkan pada kotak lain yang menyerupai kotak pertama pada saat yang
lain yang tidak terdapat pintu, maka kucing tersebut akan berusaha dalam
beberapa waktu untuk mencari tempat yang menyerupai tempat yang terdapat pintu
pada kotak pertama tersebut.
5. Associative
Shifting/ naqlu al-irtibath.
Hukum ini bisa dicontohkan dengan trik sederhana mengenai respon binatang
terhadap instruksi verbal. Seseorang yang memegang ikan di tangannya di depan
kucing yang sedang lapar dan kemudian memberikan instruksi kepada kucing
tersebut ‘push...’, maka apabila kucing tersebut tidak terlatih, akan
tetapi dia dalam keadaan lapar, maka dia akan merespon akan adanya ikan di
depannya. Akan tetapi respon ini akan menjadi satu hubungan (asosiasi) yang
tidak hanya pada (stimulus) ikan saja, akan tetapi juga pada siapapun yang
menginstruksikan untuk berdiri atau ‘push..’. dengan kata lain, bahwa
respon itu benar-benar terhubung dengan situasi secara keseluruhan.
Penerapan prinsip-prinsip belajar yang khusus bagi hewan terhadap
belajar manusia adalah perkara yang rumit (kompleks). Akan tetapi, menurut
Thorndike secara keseluruhan prinsip-prinsip ini merupakan asas belajar manusia, begitu juga
hukum-hukum lain seperti hukum pelatihan (qanun al-miran), hukum
pengulangan (qanun at-tikrar) dalam menyeleksi berbagai asosiasi, hukum
non-pengggunaan/ law of disuse (qanun ‘adam al-istikhdam). Secara
ringkas kita bisa menyusun prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut:
1.
Multiple respons
2.
Mind set as a contition
3.
Partial activity as a condition
4.
Assimilation or analogy
5.
Response by shifting or connection
dari
cara yang sederhana namun jelas dalam metode Thorndike ini, tapi ini bisa
dikembangkan menjadi 2 metode dalam melaksanaan eksperimen ilmiah yang masih
tetap digunakan sampai sekarang dalam eksperimen psikologi modern. Yaitu mutahah
dan kotak permasalahan. Metode kedua
ini telah dipakai dengan gambaran/bentuk yang luas dalam eksperimen terhadap
tikus dan kura-kura untuk menentukan 5 prinsip-prinsip di atas.
§
Studi tentang manusia
Kandungan umum yang ditetapkan oleh Thorndike dalam studi mengenai
manusia terdiri atas:
1.
Connection forming
2.
Connection forming involving ideas (membentuk asosiasi yang
melibatkan ide/ gagasan)
3.
Analysis or abstraction
4.
Selective thinking or reasoning (berpikir selektif dan mencari
petunjuk).
IMPLIKASI
TEORI KONEKSIONISME
1. Implikasi teori
Kandungan implikasi
thorndike masih masih diperdebatkan pada awal-awal abad ke 20, karena thorndike
masih berpedoman pada pendidikan klasik, bahwa penelitian terhadap 12 ribu pelajar dimadrasah tsanawiyah menunjukkan adanya pengaruh belajar bahasa latin untuk meningkatkan
presentasi kecerdasan dan pemahaman pada materi-materi pelajaran yang alin.
2. implikasi proses
Dalam sebuah proses thorndike menyatakan bahwa anak didik harus membiasakan kebiasaan dan ketentuan dalam memahami kata”
belajarlah bagaimana kita belajar”
Implikasi dari
teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang
gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu
untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Kesimpulannya bahwa eksperimen yang banyak itu akan menimbulkan
berbagai teori baru selain yang dibahas dalam
masalah ini. Namun teori ini dikatakan pentingg dengan membahas komponen
yang berhubungan dengan fisiologi, studi yang banyak ini akan membuka sisi yang
lain pada proses pembelajaran . beberapa ahli psikologi meragukan teori
thorndike, selalu ada perdebatan dalam
masalah ini pada akhir-akhir ini. Sebagai bukti adanya arahan ilmu
psikologi modern yang membenarkan pada proses pembelajaran pendidikan pengembangan,
kognitif, dan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar