Jumat, 01 Juni 2012

TEORI KONNEKSIONISME THORNDIKE


TEORI KONNEKSIONISME THORNDIKE

Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi anatara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “connectionism”. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, adal eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.

METODE PENELITIAN:
1.   Hukum pengulangan (qanun at-Tikrar)
Thorndike bekerja pada universitas Columbia guna menelurkan para pendidik yang paham mengenai watak manusia dan perbedaan tiap-tiap personal melalui bukunya mengenai prinsip-prinsip belajar yang berdasarkan atas nafsiyah (kepribadian) dan juga bukunya mengenai pendidikan. Sebelumnya Thorndike fokus terhadap pengajaran terhadap siswa-siswa yang kemudian perlahan-lahan dia tinggalkan dan lebih memfokuskan perhatiannya terhadap membangun psikologi pendidikan yang baru, yaitu ilmu yang sesuai dengan pendekatan eksperimen yang pengembangannya terpusat di pusat kajian Jerman.  
      Thorndike lebih banyak dipengaruhi oleh teori Darwin mengenai perilaku hewan.
 Ketika menetapkan metode penelitian ilmiahnya, Thorndike benyak dipengaruhi oleh pendapat para pendahulunya. Maka eksperimen Thorndike mengenai hukum pengulangan, pelatihan, law of use dan law of disuse memberikan hasil yang  dipengaruhi oleh tulisan Ariston. Aristo telah menulis penelitiannya mengenai daya ingat, yaitu kecepatan kita mengingat sesuatu yang sering kita pikirkan dan bersamaannya antara kekuatan kebiasaan dan respon secara alami. Namun aristo juga memberikan batasan mengenai karakteristik pengulangan secara jelas dan detail bahwa pengulangan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kekuatan untuk berfikir (mengingat). Contoh: terkadang manusia mampu untuk mengingat sesuatu yang dilihatnya sekali dengan gembaran yang lebih jelas, dari pada mengingat sesuatu yang berulang kali dilihatnya.
Thorndike meyakini bahwa ‘pengulangan’ memberikan pengaruh secara langsung terhadap pembentukan sikap. Kepercayaan Thorndike diperkuat oleh eksperimen Pevlov mengenai perilaku menangkas (memberikan respon) tertentu, dan juga hasil eksperimen Waston mengenai respon anak aktif pada tahun 1920.  Pada eksperimen tersebut memberikan hasil yang sama dengan eksperimen Pavlov. Para ilmuwan juga mulai tampak menerima pendapat mengenai ‘perilaku menangkas’ tertentu adalah pola dasar dari beberapa pola belajar. Dan ketika  pendapat ini dipraktekkan dalam proses belajar mengajar di dalam kelas oleh para pendukung teori (hasil eksperimen) Pavlov, mereka menunjukkan dengan gambaran yang tidak langsung terhadap metode pengajaran dengan memberikan pelatihan semaksimal mungkin pada setiap mata pelajaran.


2. Hukum pelatihan (Law of exercise)/ (qanun al-miran)
Hukum  pelatihan adalah generalisasi atas hukum penggunaan (law of use) dan hukum non penggunaan (law of disuse). Hukum pelatihan ini berarti bahwa jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunakan maka perilaku tersebut akan terlupakan atau akan menurun.

3. Hukum efek (Law of Effect)/ (qanun al-atsar)
Konsep stimulus ganjaran (al-istabah) atau pemberian ganjaran (hadiah) dan hukuman (dalam kondisi darurat) bukanlah konsep yang baru. Pada masa Thorndike ini banyak para pengajar yang menggunakan konsep pemberian ganjaran dan hukuman. Pendapat para ahli filsafat banyak membantu dalam menjelaskan konsep ini, akan tetepi teori belajar yang dikemukakan Thorndike belumlah ditemukan sebelum adanya penemuan ilmiah mengenai ilmu fungsi-fungsi alat indra dan ilmu mengenai syaraf-syaraf yang muncul pada abad 19 M.
Herbert Spenser membantah terhadap pendapat yang mengatakan bahwa pencarian rasa enak dan menjauhi rasa sakit adalah hasil perkembangan secara alami.
Sesuai dengan ini H.L Hulencors menetapkan konsep pertama mengenai hukum efek (law of effect) pada tahun 1877: “bahwa hukum kehendak (law of will) itu ada pada salah satu perspektif yang kuat, dalam artian bahwa rasa ke-enakan/ kenikmatan itu bisa mempertahankan gerakan yang bisa menimbulkan rasa ke-enakan tersebut. Karena, secara keselurahan daya akal pada saat itu tertuju pada kebiasaan yang bisa menimbulkan timbulnya rasa ke-enakan itu sendiri. Demikian itu juga disertai dengan mendalamnya merasakan sesuatu atau ter-ecapnya sesuatu tersebut, atau mendalamnya hubungan antara 2 perbuatan atau hubungan antara berbagai macam perbuatan yang berturut-turut. Itu semua, bisa menimbulkan kepada kewaspadaan (dalam terjadinya sesuatu tersebut) serta terbekas selamanya dalam kondisi jiwa.
Keserupaan yang muncul seperti ini dikarenakan adanya stimulus yang menyenangkan. Maka dikatakan bahwa stimulus yang menyenangkan ini dasar munculnya usaha belajar manusia.
Penelitian Thorndike mengenai cara belajar binatang, dia yakin bahwa binatang pada akhirnya menghubungkan antara respon yang berhasil dengan posisi (sikap) yang ada, karena rasa ke-enakan yang dihasilkan hubungan tersebut bagi binatang menjadi bagian yang tidak terbagi atas respon yang berhasil dan hilangnya rasa ke-enakan, dalam artian .....
Dalam hukum efek (law of effect) terdiri atas faktor ‘kepuasan’, faktor ketidak-puasan (dzoiq) yang dibarengi dengan faktor pengulangan, penguatan, kontinuitas, dan faktor kesiapsiagaan yang menjadi satu ketentuan hukum yang satu, yaitu membentuk suatu kebiasaan. Ini seperti halnya teori yang dikemukakn James mengenai belajar. Pada saat itu juga Thorndike membenarkan pendapat mengenai faktor-faktor belajar (dalam hukum law of effect) dari 2 perspektif, yaitu 1) perspektif fisiologi, dan 2) perspektif dinamik. Dalam perspektif psikologi, Thorndike menjelaskan belajar melalui konsep hukum koneksionisme antara otak yang diusahakan.  Sedangkan dalam perspektif dinamik hukum-hukum ini sendiri menjadi hukum koneksionisme.  Secara jelas pendapat Thorndike mengenai hukum efek bisa dijelaskan sebagai berikut:
hubungan antar sel-sel saraf itu menjadi kuat manakala itu digunakan untuk melakukan perbuatan yang menghasilkan sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya hubungan itu menjadi lemah manakala digunakan untuk melakukan sesuatu yang menghasilkan sesuatu yang tidak menyenangkan (ghoiru murihah)”.
Sedangkan menurut perspektif dinamik, bahwa apapun kondisi akal atau segala apapun aktivitas dalam suatu posisi yang tidak menyebabkan kesusahan (tidak menyenangkan) maka perilaku tersebut akan memiliki hubungan dengan posisi/ keadaan tersebut. Yang selanjutnya, apabila posisi/ keadaan terjadi berulang-ulang maka kemungkinan besar perilaku (kondisi akal) itu akan terjadi lagi. Jika respon menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antar stimulus dengan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggunya) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.
Ringkasnya, Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibanya tidak memuaskan.

Metode penelitian yang berhubungan dengan kata-kata dan angka-angka:
Sebagian besar eksperimen Thorndike berkisar mengenai belajar siswa untuk membaca dan berhitung, khususnya mengenai teraturnya antar hubungan dan ber-urutannya hubungan-hubungan tersebut, begitu juga mengenai fungsi akal (otak). Salah satu eksperimennya adalah mengenai efek (hasil) belajar membaca dari berbaga metode/ cara yang berbeda-beda untuk membaca suatu cerita. Yang pertama, membaca beberapa kata dan satu ibarat (ungkapan) utuh (gabungan) dan sebagian yang lain ungkapan yang terpisah. Yang kedua, membaca cerita secara sempurna dan meringkasnya (merangkum) nya sehingga menangkap ceritanya dan runtutan gagasan cerita tersebut, itu akan ditemukan hubungan-hubungan yang lebih kuat dari pada membaca secara sebagian dari beberapa kata dan ungkapan yang saling terpisah yang tidak itu tidak akan membantu anak untuk membentuk suatu hubungan-hubungan.

Studi tentang binatang
Kajian mengenai cara belajar pada hewan ini dimunculkan oleh Thorndike melalui sejumlah eksperimennya terhadap kucing, anjing, kura-kura dan ayam, setelah itu ia juga melakukan eksperimen terhadap ikan dan monyet ketika ia studi di universitas Harvard pada tahun 90-an pada abad 19 M. Dalam studinya yang pertama ini, ia menghasilkan sebagai berikut:
ada beberapa kondisi tertentu dimana hewan merasa lapang dan tidak melakukan sesuatu apapun, yaitu kondisi yang memuaskan, dan juga ada beberapa kondisi dimana hewan merasa tertekan, akan tetapi ia  bisa menghilangkannya dengan cara melakukan sesuatu sehingga ia bisa menyingkirkannya. Hubungan-hubungan yang diciptakan oleh perilaku hewan, yakni hubungan antara situasi dan respon yang disertai dengan kondisi yang memuaskan, maka asosiasi antar situasi dan respon tersebut akan menguat. Adapun apabila asosiasi antara situasi dan respon tersebut yang mengakibatkan sesuatu (kondisi) yang tidak mengenakkan maka asosiasi antar situasi dan respon tersebut akan melemah dan menurun”.  
Dari studi ini Thorndike bisa menetapkan 4 prinsip penting belajar:
1.     Multiple respons to the same situations/ al-istijabah al-muta’addidah li al mauqif al-khoriji al wahid (berbagai respon dalam satu situasi). Yaitu, bahwa hewan memiliki banyak pilihan dalam merespon suatu situasi tertentu.
Contoh: ketika binatang berusaha melompat ke dinding
2.     Law of the learner as set / law of the learner as set yaitu Hukum set atau attitude berpendapat bahwa organisme akan melakukan aksi dalam satu situasi yang diberikan, sesuai dengan keadaan dan sikapnya untuk membuat respon tertentu.
3.     Law of partial activity/ qanun an-nasyath al-juz’iy. Thorndike menemukan bahwa dia bisa mengajari seekor kucing untuk memberikan respon dengan cara tertentu, dan pada suatu situasi tertentu. Ketika meletakkan kucing pada  situasi tertentu terdiri atas sebagian unsur materi yang ada pada situasi pertama. Maka, kucing akan berusaha mencari sebagian unsur yang ada (seperti) pada situasi pertama.
Contoh: memegang pintu dan lewat bagi kucing.  Belajar model ini disebut belajar dengan cara partial activity.
4.     Law of assimilation/ qanan at-tamastul. Dalam suatu kondisi yang tidak menarik respon asli atau respon yang diusahakan, maka respon yang ditimbulkan oleh beberapa situasi tertentu akan menjadi terhubung dengan situasi yang baru yang menyerupainya.
Contoh: apabila kucing diletakkan dalam suatu box/ kotak yang kucing tersebut dapat meminum susu melalui pintu tertentu, maka ketika kucing itu diletakkan pada kotak lain yang menyerupai kotak pertama pada saat yang lain yang tidak terdapat pintu, maka kucing tersebut akan berusaha dalam beberapa waktu untuk mencari tempat yang menyerupai tempat yang terdapat pintu pada kotak pertama tersebut.
5.     Associative Shifting/ naqlu al-irtibath. Hukum ini bisa dicontohkan dengan trik sederhana mengenai respon binatang terhadap instruksi verbal. Seseorang yang memegang ikan di tangannya di depan kucing yang sedang lapar dan kemudian memberikan instruksi kepada kucing tersebut ‘push...’, maka apabila kucing tersebut tidak terlatih, akan tetapi dia dalam keadaan lapar, maka dia akan merespon akan adanya ikan di depannya. Akan tetapi respon ini akan menjadi satu hubungan (asosiasi) yang tidak hanya pada (stimulus) ikan saja, akan tetapi juga pada siapapun yang menginstruksikan untuk berdiri atau ‘push..’. dengan kata lain, bahwa respon itu benar-benar terhubung dengan situasi secara keseluruhan.    

Penerapan prinsip-prinsip belajar yang khusus bagi hewan terhadap belajar manusia adalah perkara yang rumit (kompleks). Akan tetapi, menurut Thorndike secara keseluruhan prinsip-prinsip ini  merupakan asas belajar manusia, begitu juga hukum-hukum lain seperti hukum pelatihan (qanun al-miran), hukum pengulangan (qanun at-tikrar) dalam menyeleksi berbagai asosiasi, hukum non-pengggunaan/ law of disuse (qanun ‘adam al-istikhdam). Secara ringkas kita bisa menyusun prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut:
1.     Multiple respons
2.     Mind set as a contition
3.     Partial activity as a condition
4.     Assimilation or analogy
5.     Response by shifting or connection

dari cara yang sederhana namun jelas dalam metode Thorndike ini, tapi ini bisa dikembangkan menjadi 2 metode dalam melaksanaan eksperimen ilmiah yang masih tetap digunakan sampai sekarang dalam eksperimen psikologi modern. Yaitu mutahah dan kotak permasalahan.  Metode kedua ini telah dipakai dengan gambaran/bentuk yang luas dalam eksperimen terhadap tikus dan kura-kura untuk menentukan 5 prinsip-prinsip di atas.

§ Studi tentang manusia
Kandungan umum yang ditetapkan oleh Thorndike dalam studi mengenai manusia terdiri atas:
1.     Connection forming
2.     Connection forming involving ideas (membentuk asosiasi yang melibatkan ide/ gagasan)
3.     Analysis or abstraction
4.     Selective thinking or reasoning (berpikir selektif dan mencari petunjuk).

IMPLIKASI TEORI KONEKSIONISME
1. Implikasi  teori
Kandungan  implikasi thorndike masih masih diperdebatkan pada awal-awal abad ke 20, karena thorndike masih berpedoman pada pendidikan klasik, bahwa penelitian  terhadap 12 ribu pelajar dimadrasah  tsanawiyah menunjukkan adanya pengaruh  belajar bahasa latin untuk meningkatkan presentasi kecerdasan dan pemahaman pada materi-materi pelajaran yang alin.
2. implikasi proses
Dalam sebuah  proses  thorndike menyatakan  bahwa anak didik harus membiasakan  kebiasaan dan ketentuan dalam memahami kata” belajarlah bagaimana kita belajar”
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Kesimpulannya bahwa eksperimen yang banyak itu akan menimbulkan berbagai teori baru selain yang dibahas dalam  masalah ini. Namun teori ini dikatakan pentingg dengan membahas komponen yang berhubungan dengan fisiologi, studi yang banyak ini akan membuka sisi yang lain pada proses pembelajaran . beberapa ahli psikologi meragukan teori thorndike, selalu ada perdebatan dalam  masalah ini pada akhir-akhir ini. Sebagai bukti adanya arahan ilmu psikologi modern yang membenarkan pada proses pembelajaran pendidikan pengembangan, kognitif, dan sosial.


Tidak ada komentar: