Jumat, 01 Juni 2012

PARADIGMA KRITIS


“ PARADIGMA KRITIS”




 KRITISISME: EPISTEMOLOGI IMMANUEL KANT
Immanuel Kant adalah seorang filosof besar yang muncul dalam pentas pemikirn filosofis zaman aufklarum jerman menjelang akhir abad ke-18.Ia lahir di Konigsberg,sebuah kota kecil di prosia timur,pad tanggal 22 april 1724.Pada usia 8 tahun kanant memulai pendidikan formalnya di collegium Fridericianum sekolah yang berlandaskan semangat peitisme.
Kant mengubah wajah Filsafat secara radikal,Ia memberikan tempat sentral pada manusia sebagai subjek berpikir. Maka dalam filsafatnya, kant tidak mulai dengan penyelidikan atas benda-benda sebagai objek, melainkan menyelidiki struktur-struktur subjek lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akal aktifnya mengkonstruksi gejal-gejala yang dapat ia tangkap.
Kant mengatakan:
akal tidak boleh bertindak seperti seorang mahasiswa yang Cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-peranyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya.
Upaya Kant ini dikenal dengan kritisme atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Langkah Kant ini dimulai dengan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir kritik atas daya pertimbangan.   
1. Kritik atas Rasio murni
Dalam detik ini antara lain menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum,mutlak dan memberi pengertian baru.untuk membedakannya terdapat tig macam putusan.
1.     Putusan analisis a priori; dimana predikat tidak menambh sesuatu yang baru pada subjek,karen sudah termuat di dalamnya(misalnya,setiap benda menempati ruang).
2.     Putusan sintesis aposteriori,misalnya pernyataan”meja itu bagus”,di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi,karena dinyatakan setelah(post,bhs.latin).mempunyai pengalaman dengan aneka ragammeja yang pernah diketahui
3.     Putusan sintesis a priori: di sini di pakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang endeti brsifat sintesis namun bersifat a priori juga.misalnya: putusan yang berbunyi:”segala kejadian mempunyai sebabnya”.putusan berlaku umum dan mutlak.

2 . Kritik atas Rasio praktis
Di dalam kritik atas rasio praktis yang di persoalkan adalahsyarat-syara umum dan mutlak bagi perbuatan sosila.



Seiring dengan terjadinya transformasi sosial dalam masyarakat -yang merupakan konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi komunikasi- kajian atas pergeseran paradigma berpikir dan struktur masyarakat pun semakin berkembang. Dalam gugus modernisasi dan globalisasi yang semakin menggurita itulah, beragam pendekatan bermunculan bak jamur di musim hujan. Salah satu perspektif yang momotret perkembangan masyarakat dan budaya modern secara kritis adalah kajian komunikasi yang bersumber dari ajaran Karl Marx (1818-1883), yang kemudian disebut Marxisme.
Dalam perkembangannya, Marxisme diadopsi oleh beberapa kelompok intelektual untuk menganalis masyararakat kapitalis modern. Maka muncullah beberapa perspektif kritis dalam kajian komunikasi, diantaranya; teori ekonomi politik media, mazhab Frankfurt, hegemoni, dan cultural studies. Perspektif tersebut ada yang berada dalam tradisi marxis-materialis yang menekankan faktor ekonomi dan ada juga yang berusaha menjelaskan selubung ideologi (superstruktur) dalam komunikasi.
Tanpa bermaksud untuk membatasi kajian kita terhadap beragam aliran dalam tradisi marxis yang membahas komunikasi, dalam makalah yang singkat ini, penulis hanya akan fokus pada dua aliran utama yaitu Marxisme dan Mazhab Frankfurt. Agar lebih terarah, pembahasan atas kedua aliran di atas, pun sengaja penulis fokuskan pada teori komunikasinya an sich. Selamat mengkaji dan mari berdiskusi!

Perspektif Marxisme dalam Kajian Komunikasi

Kata Marxisme –kata ini dipopulerkan Friedrich Engels (1820-1895) rekan Karl Marx– sebenarnya mengandung interpretasi yang sangat luas. Hal ini disebabkan karena Marxisme selain merujuk langsung kepada pemikiran Karl Marx sendiri, juga karena Marxisme pada perkembangannya telah menjadi payung sekaligus identitas bagi sederet dinamika pemikiran kritis yang berada di bawah pengaruh Karl Marx.
Menurut Franz Magnis Suseso Marxisme adalah ideologi atau teori tentang ekonomi dan masyarakat yang memuat apa yang dalam perlbagai aliran yang bernaung di bawahnya dianggap sebagai ajaran resmi dan definitif Marx. Maka Marxisme lebih sempit dari ajaran Marx.
Dalam catatan Everet M. Rogers, sebagaimana dikutip Stephen W. Littlejohn dalam Theories of Human Communication, pada abad ke-20 ajaran Karl Marx telah memengaruhi hampir semua cabang ilmu sosial, meliputi sosiologi, pilitik, ekonomi, sejarah, filsafat dan termasuk di dalamnya ilmu komunikasi. Pengaruh Marx dalam kajian komunikasi terutama bersumber dari analisisnya mengenai industri kapitalis dimana terjadi pertentangan antara kaum proletar dan buruh. (Littlejohn, 2001:210)
Secara teoritits salah satu ajaran Karl Marx menjelaskan relasi antara basis dan superstruktur (base-superstructure) dalam masyarakat. Basis material dari kegiatan manusia menurut Karl Marx yaitu ekonomi atau kerja. Sementara superstruktur kesadarannya berupa ideologi, ilmu, filsafat, hukum, filsafat, plitik, dan seni. Di antara dua entitas tersebut yang dominan dan menentukan adalah basisnya. Maka basislah yang menentukan superstruktur. Dalam bahasa lain, basis sebagai sebuah realitas menentukan kesadaran manusia. Dengan demikian perbedaan cara produksi niscaya menghasilkan perbedaan kesadaran. (Budi Hardiman, 2004: 241).
Karl Marx melihat dalam masyarakat kapitalis dimana hak milik atas alat-alat produksi dikuasai oleh beberapa gelintir orang saja (kaum borjuis) terjadi dominasi kaum borjuis atas kaum proletar. Dalam kondisi inilah terjadi penghisapan manusia atas manusia lainnya. Individu-individu yang tertindas itu akhirnya merasakan keterasingan karena tidak memiliki hak milik atas barang. Bahkan menurut Marx individu bukan saja terasing dari lingkungannnya tapi juga dari barang yang diciptakannya. (McLelland, 1977: 78).
Mengikuti alur pemikiran di atas, maka jika diandaikan dalam komunikasi dapat digambarkan bahwa media massa sebagai industri informasi yang hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha media massa) yang memiliki kepentingan ideologis, mengeksploitasi para pekerja media untuk menghasilkan informasi sesuai dengan ideologi pemiliknya. Maka para pekerja media kemudian akan terasing karena ia tidak memiliki atau hanya mendapatkan sedikit keuntungan dari industri tersebut. Selanjutnya masyarakat atau komunikan mau tidak mau mengkonsumsi media massa dan mereka hanya menjadi pembaca, pendengar atau penonton yang pasif sehingga ideologi yang dibawa oleh media merasuki masyarakat, dan masyarakat bertindak sesuai dengan apa yang digambarkan atau dicontohkan oleh media massa. Pada titik ini media sebagai realitas menentukan kesadaran masyarakat. Dan kesadaran yang dihasilkan oleh media massa adalah kesadaran palsu (false conciousness).
Terkait dengan kajian komunikasi, khususnya kajian media, secara historis, pada zamannya, sebenarnya Marx belum menyaksikan media massa yang pengaruh dan dominasinya begitu kuat seperti yang terjadi pada masyarakat modern. Meski demikian bukanlah mustahil jika melalui teorinya dapat dilakukan penelitian secara kritis terhadap media massa. Dalam perspektif Marxian media massa dipandang sebagai alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. (McQuail, 1987: 63).
Media sebagaimana telah dijelaskan di atas, cenderung dimonopoli oleh oleh kelas kapitalis untuk memenuhi kepentingan dan ideologi mereka. Mereka melakukan eksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk mempertahankan kedudukannya, mereka melarang adanya ideologi lain yang akan mengganggu kepentingannya. Contoh yang mudah adalah keluar/dikeluarkannya Sandrina Malakiano dari Metro TV karena mengenakan jilbab. Mobilisasi kesadaran semacam itu dihindari oleh kaum kapitalis, karena itu mereka menerapkan kebijakan yang ketat dan terorganisir secara rapi.
Dalam kerangka pikir ini, media massa sebagai alat dari kelas yang dominan untuk mempertahankan status quo yang dipegangnya dan sebagai sarana kelas pemilik modal berusaha melipatgandakan modalnya. Media yang cenderung menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa akan menekan kelas-kelas tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh Marx dan Engels :
The ideas of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force. The class which has the means of material production at its disposal, has control at the same time over the means of mental production, so that thereby, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production aresubject of it (Marx and Engels dalam Storey [ed],1995 : 196).
Pandangan yang dijelaskan di atas terkesan mereduksi segala sebab persoalan kepada masalah ekonomi. Pandangan ini sering disebut ekonomisme. Ekonomisme sendiri memang kata kunci yang penting untuk memahami Marxisme ortodoks. Dalam ekonomisme basis ekonomi masyarakatlah yang menentukan segala hal dalam superstruktur kesadaran masyarakat seperti sosial, politik dan kesadaran itelektual. Ekonomisme terkait dengan determinisme teknologi. Marx sering menginterpretasikan bahwa penguasaan terhadap teknologi berarti menguasai ekonomi dan karena itu bisa mendeterminasi kesadaran masyarakat.(DanielChandler, http://www.aber.ac.uk, 1994)
Pada perkembangannya pandangan ini mendapat kritik dari Lois Althusser. Marxis Althusserian memandang praktek ideologi dalam media massa relatif otonom dari determinasi ekonomi (lih. Stevenson 1995: 15-16). Menurutnya yang lebih dominant adalah ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan dan mekanisme dijalankannya untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korban dan membentuk alam pikiran mereka. (McQuail, 1987: 63).
Tradisi pemikiran itulah yang akhirnya diambil oleh Struart Hall dan kawan-kawannya dalam kajian kultural studies. Mereka menolak formulasi basis dan superstruktur karena ada dialektika antara realitas sosial dengan kesadaran sosial. (DanielChandler, http://www.aber.ac.uk, 1994)
Demikianlah segelintir gagasan tentang perspektif Marxisme dalam kajian komunikasi. Selanjutnya penulis akan membahas salah satu turunan dari aliran Marxisme yaitu Mazhab Frankfurt (Frankfurt School).

Perspektif Frankfurt School dalam Kajian Komunikasi
Frankfurt School merupakan istilah populer untuk menyebut kelompok cendekiawan yang terhimpun dalam Frankfurt Institute of Social Reaseach yang berpusat di Universitas Frankfurt Jerman. Lembaga ini didirikan oleh Felix J. Weil pada tanggal 3 Februari 1923 dan mendapat dukungan dari sekelompok intelektual Marxian yang berlatarbelakang berbagai disiplin ilmu pengetahun. Di antara mereka yang terkenal adalah Max Hokheimer, Theodore Adorno, Herbert Marcuse dan yang paling kontemporer adalah Habermas. Meskipun mereka sangat dipengaruhi oleh Marx namun mereka berpendapat bahwa teori Marx sudah tidak mampu mengungkapkan sifat masyarakat secara akurat, sehingga mereka memandang perlu dikembangkan lebih lanjut. (Yusuf Lubis, 2006: 6).
Cendekiawan yang tergabung dalam aliran ini memiliki ciri khas yaitu kritis terhadap berbagai aspek kehidupan sosial untuk mengungkapkan sifat masyarakat modern secara lebih akurat. Tak heran jika kemudian aliran mereka disebut sebagai teori kritis. Mereka mengembangkan pemikirannya dengan bertolak dari keinginan untuk memperoleh teori sosial dan epistemologi alternatif terhadap paradigma positivisme yang dianggap sudah tidak relevan lagi.
Mazhab Frankfurt menolak pandangan Marxisme yang terlalu menekankan pada determinisme ekonomi. Karena pandangan determinisme ekonomi berangkat dari asumsi pemikiran positivistik yang menganggap bahwa metode ilmu alam dan prinsip ilmu alam dapat diterapkan dengan tepat pada bidang ilmu pengetahuan sosial budaya. Mereka memandang ilmu pengetahuan sosial budaya tidak bisa disamakan dengan ilmu alam, karena alam secara mendasar sangat berbeda dengan manusia dan kegiatannya. Dalam pandangan Habermas paradigma positivisme itu mengabaikan peran manusia sebagai aktor yang memiliki karakteristik khas dan unik tidak seperti robot. Teori yang berusaha dibangun oleh Mazhab Frankfurt ingin melepaskan kehidupan dari model cara berpikir positivisme (rasionalitas instrumental) dimana terjadi penjajahan dunia kehidupan (labenswelt) oleh sistem. (Yusuf Lubis, 2006: 6).
Berangkat dari paradigma di atas maka Mazhab Frankfurt lebih menekankan kajiannya pada persoalan kultural. Mereka berkeyakinan bahwa ramalan Marx tentang akan hancurnya sistem kapitalisme tidak akan terbukti. Karena kapitalisme telah mengkonsolidasikan dan mengembangkan mekanisme efektif seperti pemenuhan hak-hak pekerja secara lebih proporsional, sehingga revolusi sosial yang akan menghancurkan kapitalisme tidak akan terjadi. Bentuk penindasannya pun tidak dengan cara fisik melainkan sangat halus sehingga kaum pekerja menganggapnya sebagai sesuatu yang normal. Atas dasar pertimbangan itu maka para eksponen mazhab Frankfurt mengalihkan perhatiannya dari analisis ekonomi kapitalistik ke kritik atas penggunaan rasio intrumental pada masyarakat modern.
Menurut Mazhab Frankfurt, rasio instrumental telah menghasilkan budaya industri (culture industry) yang telah menghalangi perkembangan individu secara otonom. Penindasan yang dilakukan oleh budaya industri lebih dominan dari sekedar dominasi ekonomi. Adorno dan Hokheimer mengatakan dalam Dialectical Imagination, bahwa budaya industri telah membuat manusia tereifikasi. Manusia menjadi seperti robot yang dideterminasi oleh iklan yang ditampilkan oleh media massa. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih lagi karena semuanya telah ditentukan, distandarkan oleh budaya industri. Kostumer tidak lagi menjadi raja, tidak lagi menjadi subjek, tapi menjadi budak dan objek. (Dialectic of Enlightment, 1973)
Sementara itu dalam analisis Herbert Marcuse rasionalitas instrumental dan kungkungan industri budaya yang demikian massif telah menjadikan manusia menjadi manusia satu dimensi (one dimensional man). Hampir semua eksponen Mazhab Frankfurt pesimis terhadap budaya massa. Nada pesimis Marcuse lebih tampak dalam analisanya terhadap budaya massa yang ditampilkan oleh media massa:
The means of... communication..., the irresistible output of the entertainment and information industry carry with them prescribed attitudes and habits, certain intellectual and emotional reactions which bind the consumers... to the producers and, through the latter to the whole [social system]. The products indoctrinate and manipulate; they promote a false consciousness which is immune against its falsehood... Thus emerges a pattern of one-dimensional thought and behaviour. (Marcuse, cited in Bennett 1982: 43).
Dalam bukunya yang paling berpengaruh One-Dimensional Man, Marcuse berkeyakinan bahwa dengan adanya kebudayaan massa, aspek progresif dari seni klasik telah dihapus hanya sekedar menjadi industri. Seni hanya menjadi nilai operasional dan keinginanya akan kebahagiaan diganti dengan kebutuhan yang salah atau palsu (false need) dalam masyarakat konsumtif ini. Itulah sebabnya Marcuse, sebagaimana halnya pemikir mazhab Frankfurt (Frankfurt School) lainya seperti Theodore Adorno memandang rendah kebudayaan populer (popular culture) karena sifatnya yang konservatif dan afirmatif. Kebudayaan populer, menurutnya selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam masyarakat kapitalis ini.
Mengenai budaya populer Adorno memberikan karakteristiknya. Menurutnya karakteristik fundamental dari budaya populer, khususnya dalam musik populer, termasuk di dalamnya musik rock adalah standarisasi (standarization). Karakteriktik yang membedakannya dengan bentuk high culture yang dianggap adiluhung
Mengapa para eksponen Mazhab Frankfurt tampak pesimis dengan budaya massa? Karena budaya massa yang komersial dan universal merupakan sarana utama untuk memonopoli modal. Budaya massa ini mencakup di dalamnya segala hal yang diproduksi dan disebarluaskan secara massal.
Tokoh lain dari Mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas. Habermas memberikan jalan keluar untuk mengatasi patologi modernitas itu, yaitu dengan beralih dari rasionalitas instrumental menuju rasionalitas komunikatif yang mengandaikan adanya situasi pembicaraan yang ideal.
Habermas beralih ke paradigma komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam Teori Kritis. Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas untuk mengatasi kemandekan Teori Kritis para pendahulunya. Kegagalan para pendahulunya adalah karena teori kritis yang dilandasi rasio kritis akhirnya berubah menjadi mitos atau ideologi baru. Emansipasi yang diperjuangkan mereka hanya menjadi mitos yang tak kunjung selesai.














Tidak ada komentar: