“ PARADIGMA KRITIS”
KRITISISME: EPISTEMOLOGI IMMANUEL KANT
Immanuel Kant adalah seorang filosof besar yang muncul dalam pentas
pemikirn filosofis zaman aufklarum jerman menjelang akhir abad ke-18.Ia lahir
di Konigsberg,sebuah kota kecil di prosia timur,pad tanggal 22 april 1724.Pada
usia 8 tahun kanant memulai pendidikan formalnya di collegium Fridericianum
sekolah yang berlandaskan semangat peitisme.
Kant mengubah wajah Filsafat secara radikal,Ia memberikan tempat
sentral pada manusia sebagai subjek berpikir. Maka dalam filsafatnya, kant
tidak mulai dengan penyelidikan atas benda-benda sebagai objek, melainkan
menyelidiki struktur-struktur subjek lahirnya pengetahuan karena manusia dengan
akal aktifnya mengkonstruksi gejal-gejala yang dapat ia tangkap.
Kant mengatakan:
“akal tidak boleh bertindak
seperti seorang mahasiswa yang Cuma puas dengan mendengarkan
keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennya, tapi hendaknya ia
bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para
saksi untuk menjawab pertanyaan-peranyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan
persiapkan sebelumnya.
Upaya Kant ini dikenal dengan kritisme atau filsafat kritis, suatu
nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan
batas-batasnya. Langkah Kant ini dimulai dengan kritik atas rasio murni, lalu
kritik atas rasio praktis, dan terakhir kritik atas daya pertimbangan.
1. Kritik atas Rasio murni
Dalam detik ini antara lain menjelaskan bahwa ciri pengetahuan
adalah bersifat umum,mutlak dan memberi pengertian baru.untuk membedakannya
terdapat tig macam putusan.
1.
Putusan analisis a priori; dimana predikat tidak menambh sesuatu
yang baru pada subjek,karen sudah termuat di dalamnya(misalnya,setiap benda
menempati ruang).
2.
Putusan sintesis aposteriori,misalnya pernyataan”meja itu bagus”,di
sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi,karena
dinyatakan setelah(post,bhs.latin).mempunyai pengalaman dengan aneka ragammeja
yang pernah diketahui
3.
Putusan sintesis a priori: di sini di pakai sebagai suatu sumber
pengetahuan yang endeti brsifat sintesis namun bersifat a priori juga.misalnya:
putusan yang berbunyi:”segala kejadian mempunyai sebabnya”.putusan berlaku umum
dan mutlak.
2 . Kritik atas Rasio praktis
Di dalam kritik atas rasio praktis yang di persoalkan
adalahsyarat-syara umum dan mutlak bagi perbuatan sosila.
Seiring dengan terjadinya transformasi sosial dalam
masyarakat -yang merupakan konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya teknologi komunikasi- kajian atas pergeseran paradigma
berpikir dan struktur masyarakat pun semakin berkembang. Dalam gugus
modernisasi dan globalisasi yang semakin menggurita itulah, beragam pendekatan
bermunculan bak jamur di musim hujan. Salah satu perspektif yang momotret
perkembangan masyarakat dan budaya modern secara kritis adalah kajian
komunikasi yang bersumber dari ajaran Karl Marx (1818-1883), yang kemudian
disebut Marxisme.
Dalam perkembangannya, Marxisme diadopsi oleh beberapa
kelompok intelektual untuk menganalis masyararakat kapitalis modern. Maka
muncullah beberapa perspektif kritis dalam kajian komunikasi, diantaranya;
teori ekonomi politik media, mazhab Frankfurt, hegemoni, dan cultural studies.
Perspektif tersebut ada yang berada dalam tradisi marxis-materialis yang
menekankan faktor ekonomi dan ada juga yang berusaha menjelaskan selubung
ideologi (superstruktur) dalam komunikasi.
Tanpa bermaksud untuk membatasi kajian kita terhadap
beragam aliran dalam tradisi marxis yang membahas komunikasi, dalam makalah
yang singkat ini, penulis hanya akan fokus pada dua aliran utama yaitu Marxisme
dan Mazhab Frankfurt. Agar lebih terarah, pembahasan atas kedua aliran di atas,
pun sengaja penulis fokuskan pada teori komunikasinya an sich. Selamat
mengkaji dan mari berdiskusi!
Perspektif Marxisme dalam Kajian Komunikasi
Kata Marxisme –kata ini dipopulerkan Friedrich Engels
(1820-1895) rekan Karl Marx– sebenarnya mengandung interpretasi yang sangat
luas. Hal ini disebabkan karena Marxisme selain merujuk langsung kepada
pemikiran Karl Marx sendiri, juga karena Marxisme pada perkembangannya telah
menjadi payung sekaligus identitas bagi sederet dinamika pemikiran kritis yang
berada di bawah pengaruh Karl Marx.
Menurut Franz Magnis Suseso Marxisme adalah ideologi
atau teori tentang ekonomi dan masyarakat yang memuat apa yang dalam perlbagai
aliran yang bernaung di bawahnya dianggap sebagai ajaran resmi dan definitif
Marx. Maka Marxisme lebih sempit dari ajaran Marx.
Dalam catatan Everet M. Rogers, sebagaimana dikutip
Stephen W. Littlejohn dalam Theories of Human Communication, pada abad
ke-20 ajaran Karl Marx telah memengaruhi hampir semua cabang ilmu sosial,
meliputi sosiologi, pilitik, ekonomi, sejarah, filsafat dan termasuk di
dalamnya ilmu komunikasi. Pengaruh Marx dalam kajian komunikasi terutama
bersumber dari analisisnya mengenai industri kapitalis dimana terjadi
pertentangan antara kaum proletar dan buruh. (Littlejohn, 2001:210)
Secara teoritits salah satu ajaran Karl Marx
menjelaskan relasi antara basis dan superstruktur (base-superstructure)
dalam masyarakat. Basis material dari kegiatan manusia menurut Karl Marx yaitu
ekonomi atau kerja. Sementara superstruktur kesadarannya berupa ideologi, ilmu,
filsafat, hukum, filsafat, plitik, dan seni. Di antara dua entitas tersebut
yang dominan dan menentukan adalah basisnya. Maka basislah yang menentukan
superstruktur. Dalam bahasa lain, basis sebagai sebuah realitas menentukan
kesadaran manusia. Dengan demikian perbedaan cara produksi niscaya menghasilkan
perbedaan kesadaran. (Budi Hardiman, 2004: 241).
Karl Marx melihat dalam masyarakat kapitalis dimana
hak milik atas alat-alat produksi dikuasai oleh beberapa gelintir orang saja
(kaum borjuis) terjadi dominasi kaum borjuis atas kaum proletar. Dalam kondisi
inilah terjadi penghisapan manusia atas manusia lainnya. Individu-individu yang
tertindas itu akhirnya merasakan keterasingan karena tidak memiliki hak milik
atas barang. Bahkan menurut Marx individu bukan saja terasing dari
lingkungannnya tapi juga dari barang yang diciptakannya. (McLelland, 1977: 78).
Mengikuti alur pemikiran di atas, maka jika diandaikan
dalam komunikasi dapat digambarkan bahwa media massa sebagai industri informasi
yang hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha media massa) yang memiliki
kepentingan ideologis, mengeksploitasi para pekerja media untuk menghasilkan
informasi sesuai dengan ideologi pemiliknya. Maka para pekerja media kemudian
akan terasing karena ia tidak memiliki atau hanya mendapatkan sedikit
keuntungan dari industri tersebut. Selanjutnya masyarakat atau komunikan mau
tidak mau mengkonsumsi media massa dan mereka hanya menjadi pembaca, pendengar
atau penonton yang pasif sehingga ideologi yang dibawa oleh media merasuki
masyarakat, dan masyarakat bertindak sesuai dengan apa yang digambarkan atau
dicontohkan oleh media massa. Pada titik ini media sebagai realitas menentukan
kesadaran masyarakat. Dan kesadaran yang dihasilkan oleh media massa adalah
kesadaran palsu (false conciousness).
Terkait dengan kajian komunikasi, khususnya kajian
media, secara historis, pada zamannya, sebenarnya Marx belum menyaksikan media
massa yang pengaruh dan dominasinya begitu kuat seperti yang terjadi pada
masyarakat modern. Meski demikian bukanlah mustahil jika melalui teorinya dapat
dilakukan penelitian secara kritis terhadap media massa. Dalam perspektif Marxian
media massa dipandang sebagai alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum
industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. (McQuail,
1987: 63).
Media sebagaimana telah dijelaskan di atas, cenderung
dimonopoli oleh oleh kelas kapitalis untuk memenuhi kepentingan dan ideologi
mereka. Mereka melakukan eksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara
material demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk mempertahankan
kedudukannya, mereka melarang adanya ideologi lain yang akan mengganggu
kepentingannya. Contoh yang mudah adalah keluar/dikeluarkannya Sandrina
Malakiano dari Metro TV karena mengenakan jilbab. Mobilisasi kesadaran semacam
itu dihindari oleh kaum kapitalis, karena itu mereka menerapkan kebijakan yang
ketat dan terorganisir secara rapi.
Dalam kerangka pikir ini, media massa sebagai alat
dari kelas yang dominan untuk mempertahankan status quo yang dipegangnya dan
sebagai sarana kelas pemilik modal berusaha melipatgandakan modalnya. Media
yang cenderung menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa akan menekan
kelas-kelas tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh Marx dan Engels :
The ideas
of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which
is the ruling material force of society, is at the same time its ruling
intellectual force. The class which has the means of material production at its
disposal, has control at the same time over the means of mental production, so
that thereby, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production
aresubject of it (Marx and Engels dalam Storey [ed],1995 : 196).
Pandangan
yang dijelaskan di atas terkesan mereduksi segala sebab persoalan kepada
masalah ekonomi. Pandangan ini sering disebut ekonomisme. Ekonomisme sendiri
memang kata kunci yang penting untuk memahami Marxisme ortodoks. Dalam
ekonomisme basis ekonomi masyarakatlah yang menentukan segala hal dalam
superstruktur kesadaran masyarakat seperti sosial, politik dan kesadaran
itelektual. Ekonomisme terkait dengan determinisme teknologi. Marx sering
menginterpretasikan bahwa penguasaan terhadap teknologi berarti menguasai
ekonomi dan karena itu bisa mendeterminasi kesadaran
masyarakat.(DanielChandler, http://www.aber.ac.uk, 1994)
Pada perkembangannya pandangan ini mendapat kritik
dari Lois Althusser. Marxis Althusserian memandang praktek ideologi dalam media
massa relatif otonom dari determinasi ekonomi (lih. Stevenson 1995: 15-16).
Menurutnya yang lebih dominant adalah ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi,
cara penerapan dan mekanisme dijalankannya untuk mempertahankan dan
mengembangkan diri melalui kepatuhan para korban dan membentuk alam pikiran
mereka. (McQuail, 1987: 63).
Tradisi pemikiran itulah yang akhirnya diambil oleh
Struart Hall dan kawan-kawannya dalam kajian kultural studies. Mereka menolak
formulasi basis dan superstruktur karena ada dialektika antara realitas sosial
dengan kesadaran sosial. (DanielChandler, http://www.aber.ac.uk, 1994)
Demikianlah segelintir gagasan tentang perspektif
Marxisme dalam kajian komunikasi. Selanjutnya penulis akan membahas salah satu
turunan dari aliran Marxisme yaitu Mazhab Frankfurt (Frankfurt School).
Perspektif Frankfurt School dalam Kajian Komunikasi
Frankfurt School merupakan istilah populer untuk
menyebut kelompok cendekiawan yang terhimpun dalam Frankfurt Institute of
Social Reaseach yang berpusat di Universitas Frankfurt Jerman. Lembaga ini
didirikan oleh Felix J. Weil pada tanggal 3 Februari 1923 dan mendapat dukungan
dari sekelompok intelektual Marxian yang berlatarbelakang berbagai disiplin
ilmu pengetahun. Di antara mereka yang terkenal adalah Max Hokheimer, Theodore
Adorno, Herbert Marcuse dan yang paling kontemporer adalah Habermas. Meskipun
mereka sangat dipengaruhi oleh Marx namun mereka berpendapat bahwa teori Marx
sudah tidak mampu mengungkapkan sifat masyarakat secara akurat, sehingga mereka
memandang perlu dikembangkan lebih lanjut. (Yusuf Lubis, 2006: 6).
Cendekiawan yang tergabung dalam aliran ini memiliki
ciri khas yaitu kritis terhadap berbagai aspek kehidupan sosial untuk mengungkapkan
sifat masyarakat modern secara lebih akurat. Tak heran jika kemudian aliran
mereka disebut sebagai teori kritis. Mereka mengembangkan pemikirannya dengan
bertolak dari keinginan untuk memperoleh teori sosial dan epistemologi
alternatif terhadap paradigma positivisme yang dianggap sudah tidak relevan
lagi.
Mazhab Frankfurt menolak pandangan Marxisme yang
terlalu menekankan pada determinisme ekonomi. Karena pandangan determinisme
ekonomi berangkat dari asumsi pemikiran positivistik yang menganggap bahwa
metode ilmu alam dan prinsip ilmu alam dapat diterapkan dengan tepat pada
bidang ilmu pengetahuan sosial budaya. Mereka memandang ilmu pengetahuan sosial
budaya tidak bisa disamakan dengan ilmu alam, karena alam secara mendasar
sangat berbeda dengan manusia dan kegiatannya. Dalam pandangan Habermas
paradigma positivisme itu mengabaikan peran manusia sebagai aktor yang memiliki
karakteristik khas dan unik tidak seperti robot. Teori yang berusaha dibangun
oleh Mazhab Frankfurt ingin melepaskan kehidupan dari model cara berpikir
positivisme (rasionalitas instrumental) dimana terjadi penjajahan dunia
kehidupan (labenswelt) oleh sistem. (Yusuf Lubis, 2006: 6).
Berangkat dari paradigma di atas maka Mazhab Frankfurt
lebih menekankan kajiannya pada persoalan kultural. Mereka berkeyakinan bahwa
ramalan Marx tentang akan hancurnya sistem kapitalisme tidak akan terbukti.
Karena kapitalisme telah mengkonsolidasikan dan mengembangkan mekanisme efektif
seperti pemenuhan hak-hak pekerja secara lebih proporsional, sehingga revolusi
sosial yang akan menghancurkan kapitalisme tidak akan terjadi. Bentuk
penindasannya pun tidak dengan cara fisik melainkan sangat halus sehingga kaum
pekerja menganggapnya sebagai sesuatu yang normal. Atas dasar pertimbangan itu
maka para eksponen mazhab Frankfurt mengalihkan perhatiannya dari analisis
ekonomi kapitalistik ke kritik atas penggunaan rasio intrumental pada
masyarakat modern.
Menurut Mazhab Frankfurt, rasio instrumental telah
menghasilkan budaya industri (culture industry) yang telah menghalangi
perkembangan individu secara otonom. Penindasan yang dilakukan oleh budaya
industri lebih dominan dari sekedar dominasi ekonomi. Adorno dan Hokheimer
mengatakan dalam Dialectical Imagination, bahwa budaya industri telah membuat
manusia tereifikasi. Manusia menjadi seperti robot yang dideterminasi oleh
iklan yang ditampilkan oleh media massa. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan
untuk memilih lagi karena semuanya telah ditentukan, distandarkan oleh budaya
industri. Kostumer tidak lagi menjadi raja, tidak lagi menjadi subjek, tapi
menjadi budak dan objek. (Dialectic of Enlightment, 1973)
Sementara itu dalam analisis Herbert Marcuse
rasionalitas instrumental dan kungkungan industri budaya yang demikian massif
telah menjadikan manusia menjadi manusia satu dimensi (one dimensional man).
Hampir semua eksponen Mazhab Frankfurt pesimis terhadap budaya massa. Nada
pesimis Marcuse lebih tampak dalam analisanya terhadap budaya massa yang
ditampilkan oleh media massa:
The means
of... communication..., the irresistible output of the entertainment and
information industry carry with them prescribed attitudes and habits, certain
intellectual and emotional reactions which bind the consumers... to the
producers and, through the latter to the whole [social system]. The products
indoctrinate and manipulate; they promote a false consciousness which is immune
against its falsehood... Thus emerges a pattern of one-dimensional thought
and behaviour. (Marcuse, cited in Bennett 1982: 43).
Dalam bukunya yang paling berpengaruh One-Dimensional
Man, Marcuse berkeyakinan bahwa dengan adanya kebudayaan massa, aspek
progresif dari seni klasik telah dihapus hanya sekedar menjadi industri. Seni
hanya menjadi nilai operasional dan keinginanya akan kebahagiaan diganti dengan
kebutuhan yang salah atau palsu (false need) dalam masyarakat konsumtif ini.
Itulah sebabnya Marcuse, sebagaimana halnya pemikir mazhab Frankfurt (Frankfurt
School) lainya seperti Theodore Adorno memandang rendah kebudayaan populer (popular
culture) karena sifatnya yang konservatif dan afirmatif. Kebudayaan
populer, menurutnya selalu mendamaikan kita dengan kondisi represif dalam
masyarakat kapitalis ini.
Mengenai budaya populer Adorno memberikan
karakteristiknya. Menurutnya karakteristik fundamental dari budaya populer,
khususnya dalam musik populer, termasuk di dalamnya musik rock adalah
standarisasi (standarization). Karakteriktik yang membedakannya dengan
bentuk high culture yang dianggap adiluhung
Mengapa para eksponen Mazhab Frankfurt tampak pesimis
dengan budaya massa? Karena budaya massa yang komersial dan universal merupakan
sarana utama untuk memonopoli modal. Budaya massa ini mencakup di dalamnya
segala hal yang diproduksi dan disebarluaskan secara massal.
Tokoh lain dari Mazhab Frankfurt yaitu Jurgen
Habermas. Habermas memberikan jalan keluar untuk mengatasi patologi modernitas
itu, yaitu dengan beralih dari rasionalitas instrumental menuju rasionalitas
komunikatif yang mengandaikan adanya situasi pembicaraan yang ideal.
Habermas beralih ke paradigma komunikasi dengan
mengintegrasikan linguistic-analysis dalam Teori Kritis. Komunikasi
adalah titik tolak fundamental Habermas untuk mengatasi kemandekan Teori Kritis
para pendahulunya. Kegagalan para pendahulunya adalah karena teori kritis yang
dilandasi rasio kritis akhirnya berubah menjadi mitos atau ideologi baru.
Emansipasi yang diperjuangkan mereka hanya menjadi mitos yang tak kunjung
selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar