LANDASAN
HUKUM DAN POLITIK PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Meningkatkan
jumlah penduduk, meningkatnya pengharapan dan sangat meningkatnya pengetahuan
telah membawa serta masalah-masalah baru pendidikan yang telah menimbulkan
lebih banyak perubahan di kebanyakan negara dalam duapuluh tahun akhir-akhir
ini daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Kita menyaksikan penerapan
tekhnik-tekhnik dari ilmu pengetahuan alam dan sosial serta teknologi pada
proses pedidikan sebagian akibat adanya pengertian yang lebih dalam tentang apa
yang terjadi dalam pendidikan. Dan perubahan semua sistem yang secara
fundamental berubah sebagai akibat dari pengetahuan baru.[1]
Perkembangan
suatu pendidikan umum itu sendiri sudah tentu membawa problema-problema baru
dalam sisitem pendidikan. Problema sosial jarang, kalaupun pernah terjadi pasti
dapat dipecahkan semata-mata dengan pendidikan.[2]
Politik pendidikan yang
dimaksud termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan strategis pemerintah dalam
bidang pendidikan. Politik pendidikan yang diharapkan tentunya politik
pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil atau miskin. Bagaimanapun, hingga
hari ini masih banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya
sampai tingkat SD sekalipun. Masih banyak sekolah yang kekurangan fasilitas
atau bahkan tidak memiliki gedung yang representatif atau tak memiliki ruang
belajar sama sekali. Masih banyak sekolah yang sangat kekurangan guru pengajar.
Masih banyak pula guru (honorer) yang dibayar sangat rendah yang menyebabkan
motivasi mengajarnya sangat rendah.
Dengan kondisi tersebut,
bagaimana mungkin bangsa ini bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain
yang kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM)-nya sudah lebih maju.
Dalam konteks politik khususnya, dengan kondisi pendidikan seperti itu,
bagaimana mungkin agenda pendidikan politik bisa dilakukan dengan mulus dan
menghasilkan kualitas budaya politik yang diharapkan. Maka, sangat jelas,
agenda pendidikan politik mensyaratkan agenda politik pendidikan yang
memberikan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat untuk belajar atau mengenyam
pendidikan, tanpa ada celah diskriminatif sekecil apa pun, sebagaimana pesan Undang-Undang
Dasar 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Landasan Hukum dan Politik
Pendidikan
Kata
landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak.
Landasan hukum dapat diartikan peratuarn baku sebagai tempat
berpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiantan-kegiatan tertentu, dalam
hal ini kegiatan pendidikan. Tetapi tidak semua kegiatan pendidikan dilandasi
oleh aturan-aturan baku ini, contohnya, aturan cara mengajar, cara membuat persiapan, yang sebagian besar dikembangkan sendiri oleh para pendidik.
Politik
pendidikan, yaitu penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan kebijakan pendidikan,
dapat bersifat keras dan lunak. Politik pendidikan dikategorikan keras apabila
melibatkan kekuatan (fisik) untuk memdesakkan implementasi kebijakan tertentu.
Sebaliknya politik pendidikan lunak menentukan implementasi kekuasaan secara
halus srategi taktis.
Politik
pendidikan dapat juga diartikan sebagai studi ilmiah tentang aspek politik
dalam seluruh kegiatan pendidikan. Bisa juga dikatakan studi ilmiah pendidikan
tentang kebijaksanaan pendidikan (Suharto,2008:103)
definisi politik pendidikan. skenario di tingkat Negara
atau wilayah untuk membawa pendidikan ke arah tertentu.Misalnya dulu di zaman
orde lama, mahasiswa di perguruan tinggi mendapatkan kuliah manifesto politik
atau sejenisnya. Kemudian di zaman orde baru, begitu masuk perguruan tinggi,
mahasiswa langsung mendapatkan penataran P4 sebagai ganti kuliah pancasila. Ini
sangat jelas ke mana pendidikan mau dibawa, tentu di ke arah paradigma yang
selaras dengan kemauan penguasa saat itu.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan
potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik, potesi cipta,rasa
maupun kaesanya, agar potesi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan
hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan
bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, harmonis, dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan selanjutnya.
B. Landasan Hukum Pendidikan Indonesia
Landasan
hukum pendidikan dapat diartikan peraturan baku sebagai tempat berpijak atau
titik tolak dalam melaksanakan kegiatan
pendidikan.
a. Undang-undang no.20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
- Pasal 3, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
- Pasal 5 ayat 4 “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
- Pasal 32 ayat 1, “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
Undang-undang ini selain
memuat pembaharuan visi dan misi pendidikan nasional, dasar, fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, prinsip penyelenggaraan pendidikan hak, dan kewajiban
warga negara, orang tua dan masyarakat, peserta didik, jalur
jenjang, dan jenis pendidikan, bahasa pengantar,
standar nasional pendidikan, pengelola pendidikan, peran serta masyarakat dalam
pendidikan, pengawasan, ketentuan pidana.
b. Undang-undang No.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen
Seluruh peraturan tentang guru
dan dosen dari kualivikasi akademik, hak dan kewajiban sampai organisasi
profesi dan kode etik, sangsi bagi guru dan dosen yang tidak
menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.
Dari beberapa landasan hukum
diatas, maka jelas bahwa seluruh lapisan masyarakat negeri ini berhak
mendapatkan pendidikan yang bermutu. Dan untuk memperolehkan, pemerintah berkewajiban
untuk memfalitasinya. Ironisnya pemerintah penyelenggara negara, hanya rajin
mendengungkan pentingannya pendidikan bagi warga negara, tanpa memberi solusi
terbaik untuk penyalenggaraan pendidikan diseluruh
jenjang pendidikan. Hal ini terlihat dengan kurangnya anggaran pendidikan, baik
dalam APBN maupun APBD, yang sampai saat ini masih tidak lebih dari 20.
kenyataan ini, memaksa kita untuk menunda keinginan memiliki pendidikan yang
berkualitas.
C. Politik Pendidikan di Indonesia
Di
Indonesia, politik pendidikan selama ini jarang digunakan sebagai instrument
politik dalam menentukan arah dan bentuk masa depan, pendidikan lebih banyak
menjadi korban politik dan bukan kualitas politik dalam mewujudkan visi dan
misi pembangunan.
Budaya politik seseorang atau masyarakat
sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat pendidikan seseorang atau
masyarakat. Hal itu bisa dipahami mengingat semakin tinggi kesempatan seseorang
atau masyarakat mengenyam pendidikan, semakin tinggi pula masyarakat memiliki
kesempatan membaca, membandingkan, dan mengavaluasi. Maka kunci pendidikan
politik masyarakat sebenarnya terletek pada politik pendidikan masyarakat.
Perlunya pemberdayaan
pendidikan sebagai bagian penting dari proses politik di Indonesia, khususnya
politik karakter bangsa dari pembangunan. Pendidikan adalah instrument penting
dalam membangun karakter bangsa dan pembangkitan kesadaran atau nasionalisme
bangsa. Sayangnya, kita belum mampu merumuskan atau menggunakan pendidikan
sebagai katalis pembangunan atau pendidikan sebagai instrument polotik kebangsaan.
Politik pendidikan adalah sektor penting bagi masa depan Indonesia. Sebab,
dengan politik pendidikan ini, Indonesia bisa menentukan potret hari esok dari saat ini.
Bagaiamana membangun poitik yang
sehat. ada banyak cara, tetapi semua berawal dari kesadaran para penentu
kebijakan; yaitu eksekutif dan legislative. Mereka harus bersikap’sadar didik’ (sense
of edication) menyadri pentingnya pendidikan untuk membangun manusia. Dalam banyak hal yang terkait kinerja pendidikan, misalnya besarnya
anggaran, partisipasi pendidikan, posisi guru, pemberantasan buta aksara, dan
lainnya ternyata pemerintah belum berperan maksimal. Soal anggaran pendidikan,
misalnya. Kita paham dalam beberapa tahun, besar anggaran pendidikan di
Indonesia tidak saja terjelek di Asia Tenggara; tetapi terburuk di dunia.
Harus diakui, dalam satu dua tahun terakhir ini terdapat
kemajuan signifikan dalam pengalokasian anggaran pendidikan, tetapi pertanggungjawaban
atas pengaruh positif ada istilah yang sering digunakan untuk membedakan jenis
pendidikan: pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal.
Pendidikan formal adalah jenis pendidikan yang kita
kenal dengan pendidikan persekolahan. Pendidikan informal menunjuk kepada
aktivitas pendidikan dalam keluarga, lingkungan pekerjaan, media massa dan
lain-lain. Pendidikan nonformal adalah aktivitas pendidikan di luar pendidikan
formal, dilakukan secara mandiri, terorganisir, dan sistematis, untuk melayani
peserta didik tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya. Pendidikan formal dan
pendidikan nonformal sering dihadapkan secara berlawanan.
pengalokasian anggaran terhadap kualitas pendidikan
belum diperoleh, selain terjadinya kebocoran di sana-sini sepertinya merupakan
penyakit yang tak akan sembuh. pendidikan nonformal bisa berlangsung di mana
saja, dan bisa diprakarsai oleh siapa saja. Tidak harus pemerintah tetapi juga
masyarakat bisa memprakarsainya.
D.
Penerapan Ladasan Hukum dan Politik Pendidikan Dalam Dunia Pendidikan di
Indonesia
Perhatian atas hak rakyat atas pendidikan
hanya ditempatkan sebagai kendala yang dipenuhi agar sistem utama dapat
berjalan. Dalam sistem seperti ini pendidikan ditempatkan sebagai komoditas,
peranan pemerintah dimimalisasi dengan berfokus pada kontrol kurikulum yang standar, melakukan
disentralisasi kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain
negara melempar kewajibannya pada entitas politik lokal.
Guru, dosen dan profesi
pendidik dinina bobokan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau dengan kata lain
ditempatkan dalam status ekonomi dan kondisi kerja yang rendah. upaya kenaikan
gaji yang tidak signifikan atau sistem sertifikasi yang tidak masuk akal,
memperkuat asumsi itu. Indikasi ini dapat diliat pada semua level pendidikan
dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Ada sekolah yang kaya dan ada juga
sekolah yang miskin. Status sekolah menjadi terjantung kondisi sosial ekonomi
muridnya. Ada sekolah yang roboh dan ada sekolah yang megah, padahal semua
milik pemerintah. Bahkan didalam sekolahpun dibedakan, ada yang masuk rintisan
sekolah bertaraf internasional dan ada sekolah yang biasa saja.
Yang satu ber-AC dan berbahasa inggris, yang satu berkeringat dan berbahasa
indonesia. Ini adalah wujud dari ketidak percayaan diri pada sekolah nasional.
Kalaupun sekolah bertaraf internaisonal ini memang dianggap memiliki kualitas
yang lebih baik kenapa tidak dijadikan standar nasional untuk semua. Kenapa
hanya diperuntukkan untuk kelompok tertentu. Diskriminasi terjadi tidak hanya
ketika akan masuk sekolah yang tersaring dengan tarif mahal, akan
tetapi dalam proses didalamnyapun terjadi diskriminasi lanjutan. Sekolah dan
perguruan tinggi didesain agar berfikir dan bergerak secara swasta, dengan
asumsi bahwa swasta lebih baik dari pada publik atau pemerintah. Logika pasar
benar-benar merebah. Uang masuk mahal, SPP mahal, bahkan
sampai para dosennya sendiri tidak mampu menyekolahkan anak di Universitas
tenpat ia mengajar.
Perguruan tinggi pun sekarang
mengejar kelasnya menjadi berkelas dunia dari pada berusaha menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi bangsa sendiri, perguruan tinggi mengikuti arus
global dengan mengacu pada standar-standar internasional yang belum tentu
sesuai dengan kebutuhan bangsa itu sendiri.
Pada umumnya masayarakat Indonesia dapat merasakan dan menyadari dengan jelas krisis ekonomi
dan finansial. Namun mereka kurang menyadari krisis yang berdampak lebih besar,
yaitu krisis pendidikan Indonesia. krisis pendidikan
semakin parah justru terjadi setelah Indonesia berdemokrasi dan bebes memilih apa yang terbaik untuk rakyat. Tak seperti krisis ekonomi,
krisis pendidikan berimplikasi pelan tapi pasti dan kuat pada struktur sosial
di masa depan . sistem ini sebenarnya telah melecehkan konstitusi yang
menempatkan negara yang berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
BAB III
PENUTUP
Pendidikan
adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi
hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu.[3]
Budaya
politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa yang akan
ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama budaya politik mereka
sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan
bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final membentuk
pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap calon pelaku
politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar kemungkinan
(probabilitasnya) akah lahir pelaku-pelaku politik yang baik. Namun, jika
dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek dan rapuh, kemungkinan
besarnya ialah yang akan muncul di kemudian hari adalah pelaku-pelaku politik
yang jelek dan rapuh pula.
Lalu bagaimana sosok pendidikan (kontur
pendidikan) yang dapat menjadi landasan ideal kehidupan politik? Ini tergantung
bagaimana kita men-definisi-kan "kehidupan politik" yang ideal.
Namun, secara umum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon
politik disebut "pendidikan manusia seutuhnya".
Dalam idiom modern, ini ialah pendidikan yang
membimbing anak menjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), yaitu
simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini,
jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak muda yang mampu
berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka persoalan empiris yang
ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan, memiliki kepekaan sosial, secara
sukarela taat kepada norma-norma, dan mampu berpikir secara reflektif dan
integratif. Menurut para ahli, pendidikan seperti ini memerlukan waktu empat
belas tahum. Dalam sistem kita itu berarti pendidikan dari tingkat SD hingga
sarjana muda atau D-2/D-3. Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya akan
lahir insan-insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan
perilaku politik yang lebih santun dalam negara kita.
Politik Pendidikan, yaitu
studi ilmiah tentang aspek politik dalam seluruh kegiatan pendidikan. Bisa juga
dikatakan studi ilmiah pendidikan tentang kebijaksanaan pendidikan. (Suhartono,
2008 :103)
Dari ketiga definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa, landasan politik penting untuk melatih jiwa
masyarakat, berbangsa dan bertanah air dan juga dapat dimaknai sebagai suatu
studi untuk mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah yang bila
memungkinkan melakukan penyimpangan amanat.
Budaya politik seseorang atau
masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat pendidikan seseorang atau
masyarakat. Hal itu bisa dipahami mengingat semakin tinggi kesempatan seseorang
atau masyarakat mengenyam pendidikan, semakin tinggi pula seseorang atau
masyarakat memiliki kesempatan membaca, membandingkan, mengevaluasi, sekaligus
mengkritisi ruang idealitas dan realitas politik. Maka, kunci pendidikan
politik masyarakat sebenarnya terletak pada politik pendidikan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ali
Riyadi. 2006. Politik Pendidikan Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional.
Yogyakarta: Ar-Ruzz
A. Chaedar
Alwasilah. 1997. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
John
Vaizey. 1987. Pendidikan di Dunia Modern. Jakarta: PT. Gunung Agung
Redja
Mudyahardo. 2001. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal tentang Dasar Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada
Umar
Tirtarahardja dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar