Jumat, 01 Juni 2012

LANDASAN HUKUM DAN POLITIK PENDIDIKAN


LANDASAN HUKUM DAN POLITIK PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah
            Meningkatkan jumlah penduduk, meningkatnya pengharapan dan sangat meningkatnya pengetahuan telah membawa serta masalah-masalah baru pendidikan yang telah menimbulkan lebih banyak perubahan di kebanyakan negara dalam duapuluh tahun akhir-akhir ini daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Kita menyaksikan penerapan tekhnik-tekhnik dari ilmu pengetahuan alam dan sosial serta teknologi pada proses pedidikan sebagian akibat adanya pengertian yang lebih dalam tentang apa yang terjadi dalam pendidikan. Dan perubahan semua sistem yang secara fundamental berubah sebagai akibat dari pengetahuan baru.[1]
            Perkembangan suatu pendidikan umum itu sendiri sudah tentu membawa problema-problema baru dalam sisitem pendidikan. Problema sosial jarang, kalaupun pernah terjadi pasti dapat dipecahkan semata-mata dengan pendidikan.[2]
Politik pendidikan yang dimaksud termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan strategis pemerintah dalam bidang pendidikan. Politik pendidikan yang diharapkan tentunya politik pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil atau miskin. Bagaimanapun, hingga hari ini masih banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SD sekalipun. Masih banyak sekolah yang kekurangan fasilitas atau bahkan tidak memiliki gedung yang representatif atau tak memiliki ruang belajar sama sekali. Masih banyak sekolah yang sangat kekurangan guru pengajar. Masih banyak pula guru (honorer) yang dibayar sangat rendah yang menyebabkan motivasi mengajarnya sangat rendah.
Dengan kondisi tersebut, bagaimana mungkin bangsa ini bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM)-nya sudah lebih maju. Dalam konteks politik khususnya, dengan kondisi pendidikan seperti itu, bagaimana mungkin agenda pendidikan politik bisa dilakukan dengan mulus dan menghasilkan kualitas budaya politik yang diharapkan. Maka, sangat jelas, agenda pendidikan politik mensyaratkan agenda politik pendidikan yang memberikan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat untuk belajar atau mengenyam pendidikan, tanpa ada celah diskriminatif sekecil apa pun, sebagaimana pesan Undang-Undang Dasar 1945.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Landasan Hukum dan Politik Pendidikan
            Kata landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak. Landasan hukum dapat diartikan peratuarn baku sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiantan-kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan. Tetapi tidak semua kegiatan pendidikan dilandasi oleh aturan-aturan baku ini, contohnya, aturan cara mengajar, cara membuat persiapan, yang sebagian besar dikembangkan sendiri oleh para pendidik.
            Politik pendidikan, yaitu penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan kebijakan pendidikan, dapat bersifat keras dan lunak. Politik pendidikan dikategorikan keras apabila melibatkan kekuatan (fisik) untuk memdesakkan implementasi kebijakan tertentu. Sebaliknya politik pendidikan lunak menentukan implementasi kekuasaan secara halus srategi taktis.
            Politik pendidikan dapat juga diartikan sebagai studi ilmiah tentang aspek politik dalam seluruh kegiatan pendidikan. Bisa juga dikatakan studi ilmiah pendidikan tentang kebijaksanaan pendidikan (Suharto,2008:103)
definisi politik pendidikan. skenario di tingkat Negara atau wilayah untuk membawa pendidikan ke arah tertentu.Misalnya dulu di zaman orde lama, mahasiswa di perguruan tinggi mendapatkan kuliah manifesto politik atau sejenisnya. Kemudian di zaman orde baru, begitu masuk perguruan tinggi, mahasiswa langsung mendapatkan penataran P4 sebagai ganti kuliah pancasila. Ini sangat jelas ke mana pendidikan mau dibawa, tentu di ke arah paradigma yang selaras dengan kemauan penguasa saat itu.

            Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik, potesi cipta,rasa maupun kaesanya, agar potesi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, harmonis, dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan selanjutnya.

B. Landasan Hukum Pendidikan Indonesia
            Landasan hukum pendidikan dapat diartikan peraturan baku sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiatan pendidikan.
a.      Undang-undang no.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
    • Pasal 3, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
    • Pasal 5 ayat 4 “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
    • Pasal 32 ayat 1, “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa

Undang-undang ini selain memuat pembaharuan visi dan misi pendidikan nasional, dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, prinsip penyelenggaraan pendidikan hak, dan kewajiban warga negara, orang tua dan masyarakat, peserta didik, jalur jenjang, dan jenis pendidikan, bahasa pengantar, standar nasional pendidikan, pengelola pendidikan, peran serta masyarakat dalam pendidikan, pengawasan, ketentuan pidana.
b.     Undang-undang  No.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen
Seluruh peraturan tentang guru dan dosen dari kualivikasi akademik, hak dan kewajiban sampai organisasi profesi dan kode etik, sangsi bagi guru dan dosen yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.
Dari beberapa landasan hukum diatas, maka jelas bahwa seluruh lapisan masyarakat negeri ini berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Dan untuk memperolehkan, pemerintah berkewajiban untuk memfalitasinya. Ironisnya pemerintah penyelenggara negara, hanya rajin mendengungkan pentingannya pendidikan bagi warga negara, tanpa memberi solusi terbaik untuk penyalenggaraan pendidikan diseluruh jenjang pendidikan. Hal ini terlihat dengan kurangnya anggaran pendidikan, baik dalam APBN maupun APBD, yang sampai saat ini masih tidak lebih dari 20. kenyataan ini, memaksa kita untuk menunda keinginan memiliki pendidikan yang berkualitas.

C. Politik Pendidikan di Indonesia
            Di Indonesia, politik pendidikan selama ini jarang digunakan sebagai instrument politik dalam menentukan arah dan bentuk masa depan, pendidikan lebih banyak menjadi korban politik dan bukan kualitas politik dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan.
      Budaya politik seseorang atau masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat pendidikan seseorang atau masyarakat. Hal itu bisa dipahami mengingat semakin tinggi kesempatan seseorang atau masyarakat mengenyam pendidikan, semakin tinggi pula masyarakat memiliki kesempatan membaca, membandingkan, dan mengavaluasi. Maka kunci pendidikan politik masyarakat sebenarnya terletek pada politik pendidikan masyarakat.
Perlunya pemberdayaan pendidikan sebagai bagian penting dari proses politik di Indonesia, khususnya politik karakter bangsa dari pembangunan. Pendidikan adalah instrument penting dalam membangun karakter bangsa dan pembangkitan kesadaran atau nasionalisme bangsa. Sayangnya, kita belum mampu merumuskan atau menggunakan pendidikan sebagai katalis pembangunan atau pendidikan sebagai instrument polotik kebangsaan. Politik pendidikan adalah sektor penting bagi masa depan Indonesia. Sebab, dengan politik pendidikan ini, Indonesia bisa menentukan  potret hari esok dari saat ini.
Bagaiamana membangun poitik yang sehat. ada banyak cara, tetapi semua berawal dari kesadaran para penentu kebijakan; yaitu eksekutif dan legislative. Mereka harus bersikap’sadar didik’ (sense of edication) menyadri pentingnya pendidikan untuk membangun manusia. Dalam banyak hal yang terkait kinerja pendidikan, misalnya besarnya anggaran, partisipasi pendidikan, posisi guru, pemberantasan buta aksara, dan lainnya ternyata pemerintah belum berperan maksimal. Soal anggaran pendidikan, misalnya. Kita paham dalam beberapa tahun, besar anggaran pendidikan di Indonesia tidak saja terjelek di Asia Tenggara; tetapi terburuk di dunia.
Harus diakui, dalam satu dua tahun terakhir ini terdapat kemajuan signifikan dalam pengalokasian anggaran pendidikan, tetapi pertanggungjawaban atas pengaruh positif ada istilah yang sering digunakan untuk membedakan jenis pendidikan: pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal.
Pendidikan formal adalah jenis pendidikan yang kita kenal dengan pendidikan persekolahan. Pendidikan informal menunjuk kepada aktivitas pendidikan dalam keluarga, lingkungan pekerjaan, media massa dan lain-lain. Pendidikan nonformal adalah aktivitas pendidikan di luar pendidikan formal, dilakukan secara mandiri, terorganisir, dan sistematis, untuk melayani peserta didik tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya. Pendidikan formal dan pendidikan nonformal sering dihadapkan secara berlawanan.
pengalokasian anggaran terhadap kualitas pendidikan belum diperoleh, selain terjadinya kebocoran di sana-sini sepertinya merupakan penyakit yang tak akan sembuh. pendidikan nonformal bisa berlangsung di mana saja, dan bisa diprakarsai oleh siapa saja. Tidak harus pemerintah tetapi juga masyarakat bisa memprakarsainya.
                                                  

D. Penerapan Ladasan Hukum dan Politik Pendidikan Dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
            Perhatian atas hak rakyat atas pendidikan hanya ditempatkan sebagai kendala yang dipenuhi agar sistem utama dapat berjalan. Dalam sistem seperti ini pendidikan ditempatkan sebagai komoditas, peranan pemerintah dimimalisasi dengan berfokus pada kontrol kurikulum yang standar, melakukan disentralisasi kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain negara melempar kewajibannya pada entitas politik lokal.
Guru, dosen dan profesi pendidik dinina bobokan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau dengan kata lain ditempatkan dalam status ekonomi dan kondisi kerja yang rendah. upaya kenaikan gaji yang tidak signifikan atau sistem sertifikasi yang tidak masuk akal, memperkuat asumsi itu. Indikasi ini dapat diliat pada semua level pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Ada sekolah yang kaya dan ada juga sekolah yang miskin. Status sekolah menjadi terjantung kondisi sosial ekonomi muridnya. Ada sekolah yang roboh dan ada sekolah yang megah, padahal semua milik pemerintah. Bahkan didalam sekolahpun dibedakan, ada yang masuk rintisan sekolah bertaraf  internasional dan ada sekolah yang biasa saja. Yang satu ber-AC dan berbahasa inggris, yang satu berkeringat dan berbahasa indonesia. Ini adalah wujud dari ketidak percayaan diri pada sekolah nasional. Kalaupun sekolah bertaraf internaisonal ini memang dianggap memiliki kualitas yang lebih baik kenapa tidak dijadikan standar nasional untuk semua. Kenapa hanya diperuntukkan untuk kelompok tertentu. Diskriminasi terjadi tidak hanya ketika akan masuk sekolah yang tersaring dengan tarif mahal, akan tetapi dalam proses didalamnyapun terjadi diskriminasi lanjutan. Sekolah dan perguruan tinggi didesain agar berfikir dan bergerak secara swasta, dengan asumsi bahwa swasta lebih baik dari pada publik atau pemerintah. Logika pasar benar-benar merebah. Uang masuk mahal, SPP mahal, bahkan sampai para dosennya sendiri tidak mampu menyekolahkan anak di Universitas tenpat ia mengajar.
Perguruan tinggi pun sekarang mengejar kelasnya menjadi berkelas dunia dari pada berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bangsa sendiri, perguruan tinggi mengikuti arus global dengan mengacu pada standar-standar internasional yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan bangsa itu sendiri.
Pada umumnya masayarakat Indonesia dapat merasakan dan menyadari dengan jelas krisis ekonomi dan finansial. Namun mereka kurang menyadari krisis yang berdampak lebih besar, yaitu krisis pendidikan Indonesia. krisis pendidikan semakin parah justru terjadi setelah Indonesia berdemokrasi dan bebes memilih apa yang terbaik untuk rakyat. Tak seperti krisis ekonomi, krisis pendidikan berimplikasi pelan tapi pasti dan kuat pada struktur sosial di masa depan . sistem ini sebenarnya telah melecehkan konstitusi yang menempatkan negara yang berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.


BAB III
PENUTUP

            Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu.[3]
            Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final membentuk pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar kemungkinan (probabilitasnya) akah lahir pelaku-pelaku politik yang baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian hari adalah pelaku-pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.
            Lalu bagaimana sosok pendidikan (kontur pendidikan) yang dapat menjadi landasan ideal kehidupan politik? Ini tergantung bagaimana kita men-definisi-kan "kehidupan politik" yang ideal. Namun, secara umum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon politik disebut "pendidikan manusia seutuhnya".
Dalam idiom modern, ini ialah pendidikan yang membimbing anak menjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini, jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak muda yang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan, memiliki kepekaan sosial, secara sukarela taat kepada norma-norma, dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif. Menurut para ahli, pendidikan seperti ini memerlukan waktu empat belas tahum. Dalam sistem kita itu berarti pendidikan dari tingkat SD hingga sarjana muda atau D-2/D-3. Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya akan lahir insan-insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan perilaku politik yang lebih santun dalam negara kita.
Politik Pendidikan, yaitu studi ilmiah tentang aspek politik dalam seluruh kegiatan pendidikan. Bisa juga dikatakan studi ilmiah pendidikan tentang kebijaksanaan pendidikan. (Suhartono, 2008 :103)
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, landasan politik penting untuk melatih jiwa masyarakat, berbangsa dan bertanah air dan juga dapat dimaknai sebagai suatu studi untuk mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah yang bila memungkinkan melakukan penyimpangan amanat.
Budaya politik seseorang atau masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat pendidikan seseorang atau masyarakat. Hal itu bisa dipahami mengingat semakin tinggi kesempatan seseorang atau masyarakat mengenyam pendidikan, semakin tinggi pula seseorang atau masyarakat memiliki kesempatan membaca, membandingkan, mengevaluasi, sekaligus mengkritisi ruang idealitas dan realitas politik. Maka, kunci pendidikan politik masyarakat sebenarnya terletak pada politik pendidikan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ali Riyadi. 2006. Politik Pendidikan Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz
A. Chaedar Alwasilah. 1997. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
John Vaizey. 1987. Pendidikan di Dunia Modern. Jakarta: PT. Gunung Agung
Redja Mudyahardo. 2001. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal tentang Dasar Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Umar Tirtarahardja dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta





















[1] John Vaizey, Pendidikan di Dunia Modern, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1987), hal 159.
[2] Ibid, hal 122.
[3] Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 3

Tidak ada komentar: