Kamis, 31 Mei 2012

SASTARA ARAB DI MASA ABASIYAH AWAL


SASTRA ARAB DI MASA ABASIYAH AWAL

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sastra sebagaimana ilmu yang lain, juga mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sastra telah dikenal sejak masa lampau saat Islam belum datang, yakni di masa Jahiliyah. Sehingga sastra memiliki karakteristik tertentu sesuai tempat dan masanya. Secara universal dalam kitab al- wasith[1] perkembangan sastra dibagi menjadi lima, yakni sastra di masa jahiliyah, di masa shodrul Islam dan kerajaan Umayah, di masa Abasiyah, di masa Turki dan di masa Modern hingga saat ini.
Di masa jahiliyah, sastra berkembang dengan begitu pesat karena penduduk jahiliy selalu menggunakan satra sebagai bahasa sehari-hari. Bahkan ketika peperangan antar kabilah pun mereka berperang dalam hal sastra, sehingga tak heran jika sastra berkembang pesat di masa itu. Pada masa ini, setiap kabilah memiliki sastrawan kebanggaan. Seorang sastrawan sangat dihargai dan dihormati.
Sedangkan di masa shodrul Islam, yakni ketika Islam hadir sastra tetap dikembangkan. Namun perkembangan di masa ini tidak sepesat perkembangan di masa jahiliyah. Di masa ini banyak syair-syair masa jahiliyah yang ditinggalkan karena esensinya tidak sesuai dengan syariat Islam. Dan kali ini, penulis akan memaparkan perkembangan sastra Arab di masa Abasiyah awal.

B.    Rumusan masalah
1.     Bagaimana Kondisi sosial Politik Masa Abbasiyah? Dan apa pengaruhnya terhadap sastra Arab masa itu?
2.     Bagaimana perkembangan sastra di masa Abbasiyyah?

C.    Tujuan Penulisan
1.     Untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Adab Al- Arabi
2.     Untuk mengetahui kondisi sosial politik masa Abasiyah dan pengaruhnya terhadap sastra
3.     Untuk mengetahui perkembangan sastra di masa Abbasiyya

BAB II
PEMBAHASAN

Berbicara mengenai periodesasi kesusastraan Arab, seringkali kita dibuat bingung dengan adanya perbedaan penulisan periodesasi yang ditulis masing-masing penulis sejarah kesusastraan Arab, baik dari segi peristilahannya maupun dari segi waktunya. Pada umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik. Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu negara dan permasalahan menentukan periode yang diberikan pada sejarawan politik dan sosial, dan pembagian sejarah yang ditentukan oleh mereka itu biasanya diterima begitu saja tanpa dipertanyakan lagi. Penentuan mulainya atau berakhirnya masa setiap periodesasi hanyalah perkiraan, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dan untuk mengetahui perubahan dalam sastra itu biasanya akibat perubahan sosial dan politik.
Masa Abbasiyah dimulai dengan berdirinya daulah Abbasiyah dan diakhiri dengan jatuhnya Baghdad ke tangan Turki pada tahun 656 H(750 – 1258 M). Masa Abbasiyah memiliki dua tahap, yakni Abbasiy satu dan Abbasiy dua. Abbasiy satu dimulai sejak tahun 132-334 H. Dan di sini, penulis hanya memaparkan tentang abbasiy satu/awal.

1.     Kondisi Sosial Politik Masa Abbasiyyah
1.1  Politik
          Ketika Daulah Abasiyah naik ke tampuk kekuasaan tertinggi Islam, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat dan pada porsi tertentu antara politik dan sastra saling mempengaruhi. Pergeseran paling fundamental terjadi ketika pusat kekuasaaan dipindahkan dari Damaskus dengan tradisi Arab kental ke Baghdad dengan tradisi Parsinya. Pada masa ini seluruh sistem pemerintahan dan kekuasaan politik dipengaruhi tabiat peradaban Sasaniyah Parsi dimana khalifah berkuasa mutlak dan memimpin seluruh struktur pemerintahan mulai dari menteri, pengadilan, sampai panglima prajurit.
          Pucuk kekuasaanpun tidak lagi terbatas pada garis keturunan arab, bahkan disebutkan dalam berbagai literatur sejarah bagaimana dahsyatnya fitnah di saat terjadi persaingan kekuasaan antara dua bersaudara al Amien dan al Makmun karena berbeda garis keturunan dari ibu mereka. Kondisi politik seperti ini sangat mungkin memepengaruhi perkembangan aktivitas sastra ketika itu, karena tidak bisa dinafikan bahwa para syu'ra adalah orang terdekat khalifah di lingkungan istana setelah menteri dan struktur pemerintah lainnya.  

1.2  Sosial masyarakat
          Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umawiyah ke Abbasiyah, wilayah geografis dunia islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif penduduk setiap daerah dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Para petualang muslim berdatangan dari berbagai penjuru wilayah Islam dengan menyerap kebudayaan dan keilmuan dari daerah yang mereka kunjungi untuk kemudian menjadi rujukan dan bahan aktivitas keilmuan di daerah mereka masing-masing.
          Majelis nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan suara mereka. Maestro dunia tarik suara terkenal bermunculan pada masa ini diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan hadirnya pelayan-pelayan wanita. Dalam sebuah riwayat disebutkan Harun ar-Rasyid memiliki seribu pelayan wanita di istananya dengan berbagai keahlian.
          Pengaruh budaya dengan nuansa jahiliyah seperti ini berkembang tidak di seluruh negeri tapi hanya di lingkungan istana dan petinggi-petinggi negara, adapun masyarakat umum berada dalam beragam kondisi perubahan sosial, bahkan dari kelas masyarakat umum muncul gerakan menentang perilaku dan tradisi jahili yang berkembang di lingkungan istana dikenal dengan nama "Harakah az Zuhd".
      
1.3  Dunia intelektual dan pengetahuan
          Faktor lain berkembangnya peradaban di era Abbasiyah ditandai dengan derasnya aktivitas intelektual masyarakat islam. Kegiatan intelektual menjadi makanan rutin akal dan hati masyarakat. Kondisi ini dipengaruhi terbukanya pintu intelektual Islam dengan masyarakat dunia lainnya. Kerajaan sangat bersemangat dalam menyokong semua aktivitas penterjemahan literatur asing ke Bahasa Arab, seperti yang dikatakan al Mas'udi," Abu Ja'far al Mansur adalah khalifah pertama yang menggiatkan aktivitas astronomi dan menetapkan kegiatan kerja kerajaan mengacu pada hukum-hukum astronomi. Abu Ja'far al Mansur juga khalifah pertama yang menerjemahkan literatur asing ke bahasa Arab diantaranya karya-karya Aristoteles, buku Sanad India dan berbagai literatur lainnya.
          Darul Hikmah di masa Harun ar Rasyid telah menjadi pustaka dunia dengan menyimpan beribu-ribu literatur asing Romawi, Yunani, Parsi dan India kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kemajuan ini diikuti dengan lahirnya ribuan ulama dan sastrawan. Baghdad berubah menjadi mercusuar peradaban dan tujuan cendikiawan serta pencari ilmu dari seluruh pelosok negeri. Kita kenal Khalil bin Ahmad al Farahidy sebagai peletak pertama Mu'jam Lughawy dengan kitabnya al 'Ain. Dalam ilmu Fiqh, lahir Abu Hanifah, Malik bin Anas, as Syafii, dan Ahmad bin Hanbal.  Dalam kajian sejarah, Ibnu Sa'd dengan karyanya at Tabaqat al Qubra, Akhbar al Khulafa'.      

2.     Syi’ir di Masa Abbasiyyah
·       Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Syi’ir
Di masa ini, syi’ir mengalami perkembangan yang begitu pesat. Kondisi sosial politik di atas sangat mempengaruhi perkembangan syi’ir. Secara terperinci terdapat beberapa faktor  yang mempengaruhi bangkit dan berkembangnya syi’ir di masa ini. Faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:[2]
1) Terciptanya stabilitas politik, kemakmuran ekonomi dan adanya dukungan dari khalifah Abbasiyah, karena mempunyai kecenderungan kepada ilmu pengetahuan. Khalifah ini selalu berupaya mendukung kegiatan keilmuan, seperti memberi penghargan tinggi bagi sarjana-sarjana yang mempunyai reputasi yang tinggi dan bidangnya. Ia telah memberikan gaji yang cukup tinggi kepada para penerjamah yang ditugaskan di Bayt- al-Hikmah.
2) Adanya kebebasan keintektualan dan interaksi positif antara orang-orang Arab Muslim dan non Muslim, serta toleransi dan suasana penuh keterbukaan. 3) Adanya respon umat Islam terhadap usaha pengembangan Ilmu pengetahuan yang diikuti dengan adanya semangat keagamaan dan disertai pemikiran yang rasional.
4) Adanya pertentangan di kalangan kaum muslimin sendiri dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan, dimana tiap-tiap golongan berusaha untuk mempertahankan wujud dirinya, dan memerlukan bahan-bahan perdebatan. Hal ini terjadi antara Mu’tazilah dan golongan Ahl al-Sunnah wal Jama’ah.
5) Situasi politik saat itu, dimana setiap tokoh yang berkuasa harus bisa mengambil hati rakyatnya agar tetap menaruh simpati pada pemimpinnya. Itulah para khalifah Abbasiyah telah mengalihkan perhatian rakyat pada pentingnya ilmu pengetahuan yang memang begitu diminati masyarakat Arab pada waktu itu.
6) Adanya kesepakatan antara Kaisar Romawi dan Kalifah al-Ma’mun yag isinya telah memperkenankan kepada khalifah Al-ma’mun untuk menjalin berbagai buku langka peninggalan Yunani kuno yang ada di wilayah imperium Romawi dan membawa buku-buku tersebut ke Bayt- al-Hikmah di Bagdad.

·       Tujuan Syi’ir[3]
Setiap syi’ir mempunyai tujuan masing-masing sesuai dengan masanya. Di masa Abbasiyyah ini pun, syi’ir memiliki beberapa tujuan layaknya syi’ir di masa yang jahili dan shodrul Islam. Adapun tujuan-tujuan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a)     Al Washfu
Penyairnya: Abu ‘Ubadah al- Walid yang masyhur dengan nama: Buhturi. Contoh: أتاك الربيع الطلق يختال ضاحكا  من الحسن حتى كاد أن يتكلما
b)     Al Madhu
Penyairnya: Abu Thoyyib Ahmad Ibn Husain, masyhur dengan nama Mutanabbi. Contoh:  على قدر أهل العزم تأتي العزائم   و تأتي على قدر الكرام المكارم
c)     Al Ghozal
Penyairnya: Abbas Ibn Ahnaf. Contoh: أزين نساء العالمين أجيبي  دعاء مشوق   بالعراق غريب
d)     Al Fakhr wal Hammasah
Penyairnya: habib ibn Aus ath- Thoi yang dikenal dengan nama abu tamam. Contoh: السيف أصدق أنباء من الكتب  في حده الحد بين الجد و اللعب
e)     Menceritakan Kezuhudan
Penyairnya: Isma’il Ibn al- Qasim, masyhur dengan Abu al- ‘Atahiyah.
Contoh: يا نفس قد أزف الرحيل   وأظلك الخطب الجليل 
f)      Angan-angan tentang hidup dan mati
Penyairnya: Abu al-‘Ala Ahmad Ibn ‘Abdillah al- Ma’arriyy. Contoh:
غير مجد في ملتي واعتقادي   نوح باك ولا ترنم شاد
وشبيه صوت النعي إذا قيس   بصوت البشير في كل ناد
أبكت  تلككم الحمامة أم غنت   على فرع غصنها المياد
صاح، هذي قبورنا تملأ الرحب    فأين القبور من عهد عاد؟
خفف الوطاء، ما أظن أديم ال   أرض الإمن هذه الأجساد
سر إن اسطعت في الهواء رويدا   لااختيالا على رفات العبادت
وقبيح بنا وإن قدم العهد   هوان   الاباء   والأجداد
رب لحد قد صار لحدا مرارا   ضاحك من تزاحم الأضداد

3.     Prosa di Masa Abbasiyyah
Sebagaimana syi’ir, prosa pun mengalami perkembangan yang sangat pesat di masa ini. Dalam genre prosa, muncul prosa pembaruan (النثر التجديدي) yang ditokohi oleh Abdullah ibn Muqaffa dan juga prosa lirik yang ditokohi oleh antara lain Al-Jahizh. Salah satu prosa terkenal dari masa ini ialah Kisah Seribu Satu Malam (ألف ليلة و ليلة). Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan prosa antara lain:
1)     Berkembangnya kebudayaan karena pembelajaran-pembelajaran Islam dan memperoleh manfaat dari ilmu-ilmu umat lain, seperti Paris, Hindi dan Yunani dengan jalan tarjamah
2)     Masa Abbasiyyah adalah masa yang panjang, sehingga ini membantu dalam ketetapan terhadap pikiran, bacaan dan pembahasan.
3)     Keberanian para khalifah dan kedekatan mereka dengan orang terkemuka dalam penulisan prosa

ü  Pembagian Prosa Masa Abbasiyah
1.     Korespondensi Kekhalifahan
Korespondensi kekhalifahan dipercayakan kepada dewan atau sekretaris istana. Penulis terkenal antara lain: Abu Al Fadha Muhammad bin Al Amid (w 360 H/ 970 M), Abu Ishaq Al Shabi (w 384 H/ 994 M), Al Qadli Al Fadhil (596 H/ 1200 M).
2.     Esai Sastra
Esay sastra disusun penulisnya untuk melukiskan perbincangan, melaporkan pidato, menuturkan kisah atau menguraikan tema keIslaman, moral atau kemanusiaan. Yang termashur antara lain Risalah Al Ghufron (pengampunan) yang ditulis oleh Abu Al A’la Al Ma’arri (w 449H/ 1059M), yang melukiskan status perbincangan imajiner dengan penghuni surga dan penghuni neraka.
3.     Maqamat
Badi al-Zaman al-Hamadzani dikenal sebagai pencipta maqamah, sejenis anekdot dramatis yang substansinya berusaha dikesampingkan oleh penulis untuk mengedepankan kemampuan puitis, pemahaman dan kefasihan bahasanya. Sebagai contoh, kisah-kisah bebahasa Spanyol dan Italia yang bernuansa realis atau kepahlawanan memperlihatkan kedekatan yang jelas dengan mahqamah Arab.

KESIMPULAN

Masa abbasiyah, sebagaimana pembahasan dalam makalah ini, adalah masa keemasan sastra Arab. Dari pembahasan yang demikian rinci, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
·     Faktor yang mempengaruhi berkembangnya sastra Arab (puisi dan prosa) secara global sebagai berikut: (a) Terciptanya stabilitas politik, kemakmuran ekonomi dan adanya dukungan dari khalifah Abbasiyah, karena mempunyai kecenderungan kepada ilmu pengetahuan. (b) Adanya kebebasan keintektualan dan interaksi positif antara orang-orang Arab Muslim dan non Muslim, serta toleransi dan suasana penuh keterbukaan. (c) Adanya respon umat Islam terhadap usaha pengembangan Ilmu pengetahuan yang diikuti dengan adanya semangat keagamaan dan disertai pemikiran yang rasional. (d) Adanya pertentangan di kalangan kaum muslimin sendiri dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan. (e) Situasi politik saat itu, dimana setiap tokoh yang berkuasa harus bisa mengambil hati rakyatnya agar tetap menaruh simpati pada pemimpinnya. (f) Adanya kesepakatan antara Kaisar Romawi dan Kalifah al-Ma’mun yag isinya telah memperkenankan kepada khalifah al-ma’mun untuk menjalin berbagai buku langka peninggalan Yunani kono yang ada di wilayah imperium Romawi dan membawa buku-buku tersebut ke Bayt- al-Hikmah di Bagdad.
·     Tujuan syi’ir masa Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan syi’ir masa-masa sebelumya, yakni: Al Washfu (mensifati), Al Madhu (memuji), Al Ghozal (cinta),  Al Fakhr wal Hammasah (bangga dan semangat), menceritakan kezuhudan dan angan-angan tentang hidup dan mati.
·     Di masa Abbasiyah prosa dibagi menjadi tiga, yakni: Korespondensi Kekhalifahan, Esai Sastra dan Maqamat.



DAFTAR PUSTAKA
حسن خميس المليجي. 1989. الأدب و النصوص لغير الناطقين بالعربية. عمادة شؤون المكتبات_جامعة الملك سعود
جرجي زيدان. 1996. ادب اللغة العربية. بيروت لبنان. مكتب البحوث و الدراسات: دار الفكر
الشيخ احمد الإسكندى و الشيخ مصطفى عنانى. 1912. الوسيط في الأدب العربى و تاريخه. مكة: دار المعارف
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada



[1]       الشيخ أحمد الإسكندى و الشيخ مصطفى عنانى: 10
[2]      الأدب و النصوص لغير الناطقين بالعربية: 191
[3]       ibid

Tidak ada komentar: