Kamis, 31 Mei 2012

BELAJAR DALAM KITAB TA'LIM MUTA'ALIM


 Belajar dalam Kitab Ta’lim Muta’allim


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Belajar merupakan kebutuhan setiap individu. Tanpa belajar seseorang tak akan mampu menjalani kehidupannya dengan baik. Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة, demikian Islam menyampaikan kewajiban menuntut ilmu bagi seluruh umatnya.
Dalam belajar Islam memberikan cara-cara yang sangat teratur dan sistematis. Semua telah diatur untuk memperoleh hasil yang maksimal. Di samping teori-teori belajar menurut para ilmuwan barat, jauh sebelum semua itu muncul Islam telah mengaturnya dalam kitab ta’limul muta’allim dan kitab-kitab Islam yang lain. Yang kesemuanya itu jika dilaksanakan dalam proses pembelajaran akan memberikan manfaat yang luar biasa.
Menuntut ilmu bukan sekedar transfer ilmu untuk kepentingan dunia saja, bukan hanya untuk kecerdasan akal saja tanpa memperhatikan spiritualitas dan akhlak. Lebih dari itu Islam mengajarkan bahwa belajar itu untuk kepentingan dunia akhirat. Sehingga belajar haruslah mencakup segala aspek, mulai dari kecerdasan akal hingga kecerdasan akhlak untuk kehidupan sehari-hari. Karena itu, di sini penulis menjelaskan konsep pembelajaran menurut Islam, khususnya yang dijelaskan dalam kitab ta’limul muta’allim. Karena sebagai umat Islam, sudah seyogyanya kita memahami untuk kemudian kita aplikasikan dalam proses pembelajaran agar nantinya dapat memberikan hasil yang maksimal.
B.  Rumusan Masalah
1.     Bagaimana konsep belajar dalam kitab ta’limul muta’allim?
2.     Apa syarat-syarat mu’allim, muta’allim dan musyaarik dalam pembelajaran?
C.    Tujuan Makalah
1.     Mengetahui konsep belajar dalam kitab ta’limul muta’allim.
2.     Mengetahui syarat-syarat mu’allim, muta’allim dan musyaarik dalam pembelajaran.



BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP PEMBELAJARAN MENURUT KITAB TA’LIMUL MUTA’ALIM
Menurut al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:
وينبغى أن ينوي المتعلم يطلب العلم رضا الله تعالى والدار الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن سائر الجهال وإحياء الدين و إبقاء الإسلام فأن بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد والتقوى مع الجهل. والنشد الشيخ الإمام الأجل برهان الدين صاحب الهداية شعرا لبعضهم:
فساد كبير عالم متهتك *  وأكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة * لمن بهما فى دينه يتمسك.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji berkata:
وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن ولا ينوى به اقبال الناس ولا استجلاب حطام الدنيا والكرامة عند السلطان وغيره. قال محمد ابن الحسن رحمه الله تعالى لو كان الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم و تبرأت عن ولآئهم.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya.
Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki  oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini:
ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما فيما عند الناس. انشد الشيخ الإمام الآجل الأستاذ قوام الدين حمادالدين ابراهم بن اسماعيل الصفار الأنصاري املآء لابي حنيفة رحمه الله تعالى شعرا :
من طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من الرشاد
فيالخسران طالبه     * لنيل فضل من العباد.
Maksudnya: Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini:
اللهم الا اذا طلب الجاه للأمر بالمعروف والنهى عن المنكر وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا لنفسه وهواه فيجوز ذلك بقدر مايقيم به الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر. وينبغى لطالب العلم أن يتفكر في ذلك فإنه يتعلم العلم بجهد كثير فلا يصرفه الى الدنيا الحقيرة القليلة الفانية شعر:
هي الدنيا اقل من القليل     *  وعاشقها اذلّ من الذليل             
تصم بسحرها قوما و تعمي *  فهم متحيرون بلا دليل.
Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut  digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuan-tujuan professional. Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju akhirat.  Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial. Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan kecerdasan itu tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga harus mampu mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk itulah nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat menjadi awal dari segala  tujuan (nilai sentral) bagi pembelajar.
Tujuan pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam aliran Konservatif Religius.
Aliran konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar.
Menempatkan al-Zarnuji dalam aliran religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Bingkai agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam memperoleh ilmu. Sehingga  boleh saja pembelajar bertujuan mencari kedudukan dalam memperoleh ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan yakni amar makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran, dan untuk menegakkan agama Allah.
Bagaimana menurut al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara eksplisit al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi[1] dengan penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya:
واما اختيار الأستاذ فينبغى أن يختار الاعلم والاورع والاسن كما اختار ابو حنيفة حينئذ حمّاد بن ابي سليمان بعد بعد التأمل والتفكر. وقال ابو حنيفة رحمه الله تعالى : وجدته شيخا وقورا حليما صبورا.وقال: ثبت عند حماد بن أبي سليمان فنبت.
Maksudnya: Adapun cara memiluh ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaklah mencari ustadz yang paling alim, yang paling wara’ (menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat), dan yang paling tua. Sebagaimana setelah Abu Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau  mempunyai kriteria tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak mulia, penyantun dan penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga aku seperti sekarang ini.
Begitu pentingnya tema memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih pendidik, tapi menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz. Karena bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu, selama dua bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih ustadz, supaya kamu tidak meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga ilmumu berkah dan bermanfaat.
Seorang pelajar tidak hanya bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi pengaruh kepadanya tetapi juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan al-Zarnuji:
و أما اختيار الشريك فينبغى أن يختار المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم و يفر من الكسلان والمعطل والمكثار والمفسد والفتان. قيل:
عن المرءى تسأل وابصر قرينته  *  فإن القرين بالمقارن يقتدي
فإن كان ذاشر فجنبه سرعة    *  وإن كان ذا خير فقارنه تهدى
وانشدت:
لاتصحب الكسلان في حالاته   *    كم صالح بفساد آخر يفسد
عدوى البليد الجليد سريعة       *   كالجمر يوضع في الرماد فيخمد
وقال النبي عليه الصلاة والسلام: كل مولود يولد على فطرة الإسلام الا أن ابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه.
Maksudnya: Pembelajar harus memilih berteman dengan orang yang tekun belajar, yang wara’, yang mempunyai watak istiqamah dan suka berpikir. Dan menghindari berteman dengan pemalas, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang penyair berkata : “Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: “Janganlah sekali-kali bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya. Karena banyak orang  yang menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena sifat malas itu cepat menular.” Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Lebih jelasnya masalah fitrah ini dijelaskan oleh Nabi SAW berikut ini dan artinya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُول أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ( فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ) الْآيَةَ
Dari berbagai statemen al-Zarnuji tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral manusia itu bersifat good-interactive atau fitrah positif-aktif dalam  klasifikasi pemikiran pendidikan Islam yang digagas oleh Ridha.  Artinya, pada dasarnya manusia itu baik, aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama antara potensi hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat saja dipengaruhi oleh alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia luar dipengaruhinya sehingga sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia luar melebur menjadi tarik menarik secara terus menerus dan saling pengaruh serta proses kerjasama. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti memilih ustadz,  memilih guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian, belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu merupakan salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat kalau al-Zarnuji dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh alam lingkungannya atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun juga perlu diingat bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau tidak ada ‘inayatullah (pertolongan Tuhan).  Seperti halnya kasus Kan’an (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan diasuh dalam lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah, sekalipun suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada suaminya sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain yang dicontohkan dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh al-Zarnuji dengan istilah tawakkal.



BAB III
KESIMPULAN
Dari berbagai bahasan yang dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa al-Zarnuji dalam menentukan tujuan belajar/ pendidikan berorientasi kepada tujuan ideal dan tujuan praktis, sekalipun lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga tujuan-tujuan praktis, seperti tujuan mencari ilmu untuk memperoleh kedudukan haruslah diberdayakan kepada tujuan mencari rida Allah dan kehidupan di akhirat. Sekalipun tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci, tetapi paling tidak benang merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu haruslah ada tujuan yang bersifat individual, sosial dan professional.
Mengenai pendapatnya tentang konsep sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar, nampaknya lebih cenderung kepada good- interactive atau fitrah positif-interaktif. Artinya pada dasarnya cetakan manusia itu baik-interaktif dan merespon terhadap lingkungan social budaya  bersifat proses kerjasama atau dialogis. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan sosial, seperti memilih guru, teman dan tempat agar ilmu yang diperoleh pembelajar dapat bermanfaat, berkah sebagai hasil dari pengaruh lingkungan tersebut. Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dunia akhirat





[1] bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat/ kemampuan dasar dan alam sekitar.

Tidak ada komentar: