Belajar dalam Kitab
Ta’lim Muta’allim
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar merupakan kebutuhan setiap
individu. Tanpa belajar seseorang tak akan mampu menjalani kehidupannya dengan
baik. Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. طلب
العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة, demikian Islam menyampaikan
kewajiban menuntut ilmu bagi seluruh umatnya.
Dalam belajar Islam memberikan cara-cara
yang sangat teratur dan sistematis. Semua telah diatur untuk memperoleh hasil
yang maksimal. Di samping teori-teori belajar menurut para ilmuwan barat, jauh
sebelum semua itu muncul Islam telah mengaturnya dalam kitab ta’limul
muta’allim dan kitab-kitab Islam yang lain. Yang kesemuanya itu jika dilaksanakan
dalam proses pembelajaran akan memberikan manfaat yang luar biasa.
Menuntut ilmu bukan sekedar transfer ilmu
untuk kepentingan dunia saja, bukan hanya untuk kecerdasan akal saja tanpa
memperhatikan spiritualitas dan akhlak. Lebih dari itu Islam mengajarkan bahwa
belajar itu untuk kepentingan dunia akhirat. Sehingga belajar haruslah mencakup
segala aspek, mulai dari kecerdasan akal hingga kecerdasan akhlak untuk
kehidupan sehari-hari. Karena itu, di sini penulis menjelaskan konsep
pembelajaran menurut Islam, khususnya yang dijelaskan dalam kitab ta’limul
muta’allim. Karena sebagai umat Islam, sudah seyogyanya kita memahami untuk
kemudian kita aplikasikan dalam proses pembelajaran agar nantinya dapat
memberikan hasil yang maksimal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep
belajar dalam kitab ta’limul muta’allim?
2. Apa syarat-syarat
mu’allim, muta’allim dan musyaarik dalam pembelajaran?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui konsep
belajar dalam kitab ta’limul muta’allim.
2. Mengetahui syarat-syarat
mu’allim, muta’allim dan musyaarik dalam pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP PEMBELAJARAN MENURUT KITAB TA’LIMUL MUTA’ALIM
Menurut
al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:
وينبغى
أن ينوي المتعلم يطلب العلم رضا الله تعالى والدار الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن
سائر الجهال وإحياء الدين و إبقاء الإسلام فأن بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد
والتقوى مع الجهل. والنشد الشيخ الإمام الأجل برهان الدين صاحب الهداية شعرا
لبعضهم:
فساد
كبير عالم متهتك * وأكبر منه جاهل متنسك
هما
فتنة في العالمين عظيمة * لمن بهما فى دينه يتمسك.
Maksudnya:
Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari
kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri
maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena
Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah
tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair:
“orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun
beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya
adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan.
Selanjutnya al-Zarnuji berkata:
وينوي
به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن ولا ينوى به اقبال الناس ولا استجلاب حطام
الدنيا والكرامة عند السلطان وغيره. قال محمد ابن الحسن رحمه الله تعالى لو كان
الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم و تبرأت عن ولآئهم.
Maksudnya:
Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan
kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan
tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan
pejabat dan yang lainnya.
Sebagai
akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka
bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki
oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini:
ومن
وجد لذة العلم والعمل به قلما فيما عند الناس. انشد الشيخ الإمام الآجل الأستاذ
قوام الدين حمادالدين ابراهم بن اسماعيل الصفار الأنصاري املآء لابي حنيفة رحمه
الله تعالى شعرا :
من
طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من الرشاد
فيالخسران
طالبه * لنيل فضل من العباد.
Maksudnya:
Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia
tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam
Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah:
Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah
kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena
mencari kedudukan di masyarakat.
Tujuan
pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi
juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen
pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini:
اللهم
الا اذا طلب الجاه للأمر بالمعروف والنهى عن المنكر وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا
لنفسه وهواه فيجوز ذلك بقدر مايقيم به الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر. وينبغى
لطالب العلم أن يتفكر في ذلك فإنه يتعلم العلم بجهد كثير فلا يصرفه الى الدنيا
الحقيرة القليلة الفانية شعر:
هي الدنيا اقل من
القليل * وعاشقها اذلّ من الذليل
تصم
بسحرها قوما و تعمي * فهم متحيرون بلا دليل.
Maksudnya:
Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau
kedudukan tersebut digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk
melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari
keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu.
Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari
dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar
janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan
tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih
sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang
paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan
buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari
petunjuk.
Menurut
al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan
pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial
dan tujuan-tujuan professional. Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar
dalam konsep al-Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar,
mencerdaskan akal, mensyukuri atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan
tujuan-tujuan yang bersifat individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan
dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati
kehidupan dunia dan menuju akhirat. Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk
menghilangkan kebodohan dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat),
menghidupkan nilai-nilai agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan
tujuan-tujuan sosial. Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan
masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya.
Dari tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan
kecerdasan itu tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga
harus mampu mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan
tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu
ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun
kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat
secara keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah
dengan ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional
haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk itulah
nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat
menjadi awal dari segala tujuan (nilai sentral) bagi pembelajar.
Tujuan
pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari
aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk
dalam aliran Konservatif Religius.
Aliran konservatif religius, menafsirkan
realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut
tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid dan komponen pendidikan
lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai
tujuan belajar.
Menempatkan al-Zarnuji dalam aliran
religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari
ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar harus berpangkal
dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Bingkai
agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam memperoleh ilmu.
Sehingga boleh saja pembelajar bertujuan mencari kedudukan dalam
memperoleh ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk tujuan-tujuan
keagamaan yakni amar makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran, dan untuk
menegakkan agama Allah.
Bagaimana
menurut al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara
eksplisit al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi
gambaran kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran
konvergensi[1]
dengan penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya:
واما
اختيار الأستاذ فينبغى أن يختار الاعلم والاورع والاسن كما اختار ابو حنيفة حينئذ
حمّاد بن ابي سليمان بعد بعد التأمل والتفكر. وقال ابو حنيفة رحمه الله تعالى :
وجدته شيخا وقورا حليما صبورا.وقال: ثبت عند حماد بن أبي سليمان فنبت.
Maksudnya:
Adapun cara memiluh ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaklah
mencari ustadz yang paling alim, yang paling wara’ (menjauhkan diri
dari dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat), dan yang paling tua.
Sebagaimana setelah Abu Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz
Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau mempunyai kriteria tersebut.
Selanjutnya Abu Hanifah berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak
mulia, penyantun dan penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga
aku seperti sekarang ini.
Begitu
pentingnya tema memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak
yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa
memilih pendidik, tapi menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk
memilih ustadz. Karena bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka
kadang-kadang cara mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan
dan pindah kepada orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati.
Oleh karena itu, selama dua bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah
untuk memilih ustadz, supaya kamu tidak meninggalkannya dan supaya betah
bersamanya hingga ilmumu berkah dan bermanfaat.
Seorang pelajar tidak hanya
bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi pengaruh kepadanya tetapi
juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan al-Zarnuji:
و
أما اختيار الشريك فينبغى أن يختار المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم و
يفر من الكسلان والمعطل والمكثار والمفسد والفتان. قيل:
عن
المرءى تسأل وابصر قرينته * فإن القرين بالمقارن يقتدي
فإن
كان ذاشر فجنبه سرعة * وإن كان ذا خير فقارنه تهدى
وانشدت:
لاتصحب
الكسلان في حالاته * كم صالح بفساد آخر يفسد
عدوى
البليد الجليد سريعة * كالجمر
يوضع في الرماد فيخمد
وقال
النبي عليه الصلاة والسلام: كل مولود يولد على فطرة الإسلام الا أن ابواه يهودانه
وينصرانه ويمجسانه.
Maksudnya:
Pembelajar harus memilih berteman dengan orang yang tekun belajar, yang wara’,
yang mempunyai watak istiqamah dan suka berpikir. Dan menghindari
berteman dengan pemalas, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang
penyair berkata : “Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah
siapa temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu
berbudi buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah
dengannya, tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: “Janganlah
sekali-kali bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya.
Karena banyak orang yang menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena
sifat malas itu cepat menular.” Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menyebabkan
anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Lebih jelasnya masalah
fitrah ini dijelaskan oleh Nabi SAW berikut ini dan artinya:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ
الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ
يَقُول أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ( فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ )
الْآيَةَ
Dari berbagai
statemen al-Zarnuji tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral manusia itu
bersifat good-interactive atau fitrah positif-aktif dalam
klasifikasi pemikiran pendidikan Islam yang digagas oleh Ridha.
Artinya, pada dasarnya manusia itu baik, aktif/interaktif dan aksinya
terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama antara potensi hereditas dan alam
lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat saja dipengaruhi oleh alam
lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia luar dipengaruhinya sehingga
sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia luar melebur menjadi tarik
menarik secara terus menerus dan saling pengaruh serta proses kerjasama. Namun nampaknya
al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan soaial budaya,
seperti memilih ustadz, memilih guru dan memilih lingkungan tempat
pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian, belum dapat dikatakan bahwa
al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab lain ia juga membicarakan
tentang tawakkal. Tawakkal tentu merupakan salah ciri dari yang
beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat kalau al-Zarnuji
dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena bagaimanapun juga
manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh alam lingkungannya
atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun juga perlu diingat
bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau tidak ada ‘inayatullah
(pertolongan Tuhan). Seperti halnya kasus Kan’an (anak Nabi Nuh) yang
tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan diasuh dalam lingkungan kerasulan, isteri
Fir’aun yang tetap wanita shalihah, sekalipun suaminya seorang yang
musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada suaminya sekalipun setiap harinya
disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain yang dicontohkan dalam Alquran.
Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh al-Zarnuji dengan istilah tawakkal.
BAB III
KESIMPULAN
Dari berbagai bahasan yang dikemukakan
dapatlah disimpulkan bahwa al-Zarnuji dalam menentukan tujuan belajar/
pendidikan berorientasi kepada tujuan ideal dan tujuan praktis, sekalipun lebih
menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa tujuan ideal akan
dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga tujuan-tujuan praktis, seperti
tujuan mencari ilmu untuk memperoleh kedudukan haruslah diberdayakan kepada
tujuan mencari rida Allah dan kehidupan di akhirat. Sekalipun
tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci, tetapi paling tidak benang
merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu haruslah ada tujuan yang bersifat
individual, sosial dan professional.
Mengenai
pendapatnya tentang konsep sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia
luar, nampaknya lebih cenderung kepada good- interactive atau fitrah
positif-interaktif. Artinya pada dasarnya cetakan manusia itu baik-interaktif
dan merespon terhadap lingkungan social budaya bersifat proses kerjasama
atau dialogis. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada
penataan lingkungan sosial, seperti memilih guru, teman dan tempat agar ilmu
yang diperoleh pembelajar dapat bermanfaat, berkah sebagai hasil dari pengaruh
lingkungan tersebut. Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dunia
akhirat
[1]
bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor
bakat/ kemampuan dasar dan alam sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar