Sabtu, 02 Juni 2012

PENGERTIAN, RUKUN DAN ADAT TASYBIH

Pengertian, Rukun dan Adat Tasybih
A.    Pengertian Tasybih
Tasybih menurut bahasa bermakna tamtsil, yang artinya “perumpamaan” atau  penyerupaan”. Sedangkan tasybih menurut ahli ilmu bayan adalah suatu istilah yang didalamnya terdapat pengertian penyerupaan atau perserikatan antara dua pekara (musyabbah dan musyabbah bih). Perserikatan tersebut terjadi pada suatu makna (wajh al-syibh) dan dengan menggunakan sebuah alat (adat tasybih).
Tasybih termasuk uslub bayan yang didalamnya terdapat penjelasan dan perumpamaan. Tasybih terdiri dari empat bentuk :
1)     Mengeluarkan sesuatu yang tidak dapat diindera dan menyamakannya dengan sesuatu yang bisa diindera.
2)     Mengeluarkan/mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah terjadi dan mempersamakannya dengan sesuatu yang terjadi.
3)     Mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas dan mempersamakannya dengan sesuatu yang jelas.
4)     Mengungkapkan sesuatu yang tidak mempunyai kekuatan dan mempersamakannya kepada sesuatu yang tidak mempunyai kekuatan dan mempersamakannya kepada sesuatu yang memiliki kekuatan dalam hal sifat.
Tasybih merupakan langkah awal untuk menjelaskan suatu makna dan sarana untuk menjelaskan sifat. Dengan Tasybih, maka kita dapat menambah ketinggian makna dan kejelasannya serta juga dapat membuat makna tampak lebih indah dan bermutu.

B.     Rukun Tasybih
Suatu ungkapan dinamakan tasybih jika memenuhi syarat-syarat dan unsur-unsurnya. Sebuah tasybih  harus memenuhi unsur-unsur berikut ini :
1.      Musyabbah, yaitu sesuatu yang hendak diserupakan.
contoh :  انت كالشمس في الضياء     
2.      Musyabbah bih, yaitu sesuatu yang diserupai.
خدّها كاالورد خمراcontoh :                         
3.      Wajh syibh, yaitu sifat yang terdapat  pada kedua pihak itu.
محمد كا البدر في الحسن        contoh :           
4.      Adat tasybih, yaitu huruf atau kata yang digunakan untuk menyatakan penyerupaan.
contoh :           العين كاالجمرة فى الخمرة
Keadaan Musyabbah dan Musyabbah bih:
1.      Keduanya bersifat hissi
(sesuatu yang bisa ditemukan oleh salah satu dari panca indera yang lima, mata, hidung, telinga, lidah, bibir, dan tangan)[1]
Contoh:
أنت كاالشمس في الضياء
خد ّك كاالوردِ
2.      Keduanya bersifat aqli
(sesuatu yang tidak bisa ditemukan oleh panca indera atau maddah masing-masing dari bahannya -tidak bisa diindera-)
Contoh:
العلمُ كا الحياتِ
الضّلالُ عن الحقِّ كا لعمىَ
الجهلُ كا الموتِ

C.     Adat Tasybih   
Yaitu, huruf atau kata yang digunakan untuk menyatakan penyerupaan. Adapun macam-macam adat tasybih sebagai berikut :

1.     Adat tasybih yang  seperti kaaf
Maksudnya yaitu adat tasybih yang tidak masuk, kecuali pada salah satu rukunnya tasybih dan lafadz yang dimasuki dibaca jar. Seperti kaaf, mitslu, nahwu, syibhu.
Ada tasybih yang seperti hukum asalnya adalah berdampingan dengan musyabbah bih, contohnya:
زيدٌ كا القمرِ
زيدٌ مثل أمرٍ
زيدٌ شبه بكرٍ
2.     Adat tasybih yang  tidak seperti kaaf
Maksudnya adat tasybih yang tidak menge-jarr-kan musyabbah seperti lafadz  كأن dan sesamanya. Hukum  adat tsybih yang seperti ini, yaitu berdampingan dengan musyabbah, contohnya:
كأنَّ زيداً أسدٌ

D.    Maksud dan Tujuan Tasybih
Setiap ungkapan yang meluncur dari lisan seorang penutur pasti mempunyai tujuannya. Untuk sampai kepada tujuannya dengan baik dan tepat, seorang penutur perlu memperhatikan berbagai aspek seperti objek pembicaraan, situasi, tujuannya
efek yang ditimbulkannya, dan lain sebagainya. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka muncul teknik, uslub, style, dan bentuk-bentuk penuturan yang bervariasi.
Tasybih merupakan salah satu uslub pengungkapan dalam bahasa arab. Uslub tasybih ini digunakan untuk tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.      Menjelaskan kemungkinan adanya sesuatu hal pada musyabbah (بيان المكان المشبّة)
Digunakan apabila sifat yang akan dipersamakan berlawanan.
Contoh:
دان إلى ايدى العفاة والشلاسع – عن كل ندّ في النّدىَ و ضريبِ
البدرِو افرطُ قي العلوِّ و ضوئهُ – للعصبةِ السرينِ جدّث قريبِ
2.      Menjelaskan keadaan musyabbah (بيان الحال المشبة)
Digunakan apabila musyabbah tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan melalui tasybih yang menjelaskannya. Dengan demikian tasybih itu menjelaskan pengertian yang sama dengan kata sifat.

Contoh:
كأنك شمس والملوك كواكب = إذا طلعت لم يرد منهنّ كوكب
3.      Menjelaskan kadar keadaan musyabbah (بيان مقدار حال المشبة)
Digunakan jika musyabbah sudah diketahui keadaanya secara global, lalu tasybih didatangkan untuk menjelaskan rincian keadaan itu.
Contoh:
ماقوبلت عيناه الا ظنتا = تحت الدجى نارالفريق حلولا
4.      Menegaskan keadaan musyabbah (تكرير حال المشبة)
Digunakan jika keadaan sesuatu bersifat abstrak, biasanya digunakan penyerupaan dengan sesuatu yang konkrit, sehingga lebih jelas dan mudah difahami.
Contoh
والذين يدعون من دونه للا يستجيبون لهم بشيئ
إلا كباسط كفيه الى الماء ليبلغ فاخ وما هو ببالغيه
5.      Memperindah atau memperburuk musyabbah (تزيين المشبه و تقبيحه)
Contoh:
مددت يديك نحوهم احتفاء = كمدهما اليهم بالهبات
وتفتح – لاكانت – فمالو رأيته = توهمته بابا من النار يفتح

E.     Pokok-pokok tasybih
Dalam pembentukan tasybih, ada dua unsur yang wajib disebutkan, yaitu musyabbah dan musyabbah bih. Jika salah satu dari keduanya tidak disebutkan, maka ungkapan tersebut tidak bisa disebut sebagai tasybih.
المراجع:
1.    تيسير البلاغة : الشيخ أحمد قلاش
2.    علم بلاغة (غلم معاني، بيان، بديئ) : امام أخضاري




[1] Jawahirul Balaghoh hal 156

BELAJAR


BELAJAR

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai umat Islam maka belajar adalah kewajiban. Al-qur’an ayat pertama yang turun adalah iqro’ (bacalah!) yang secara kontekstual berarti perintah untuk belajar. Sehingga belajar harus menjadi kesadaran setiap orang bukan paksaan. “ta’allam falaisal mar u yuuladu ‘aaliman, walaisa akhuu ‘ilmin kaman huwa jaahil” belajarlah, tidak ada satu pun manusia yang terlahir dalam keadaan pintar, dan tidaklah orang berilmu itu sama dengan orang bodoh.
Betapa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk pandai dan terus belajar, karena antara orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui itu memiliki derajat yang berbeda di sisiNya. Selain perintah agama, belajar juga merupakan naluri kemanusiaan yang memang memiliki keingintahuan terhadap sesuatu serta tuntutan zaman yang serba modern dan membutuhkan SDM berkualitas.
Mengingat demikian pentingnya belajar dalam hidup setiap individu, maka di sini penulis akan membahas secara detail tentang belajar, teori-teorinya dan apa yang berhubungan dengannya.
B.    Rumusan Masalah
1.     Apakah yang dimaksud dengan belajar?
2.     Bagaimana teori-teri belajar? Adakah perbandingan antara ssatu tokoh dengan tokoh lain?
C.    Tujuan Penulisan
1.     Untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan
2.     Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan belajar
3.     Untuk mengetahui apa saja teori-teori belajar dan perbedaan antara satu tokoh dengan tokoh yang lain

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian  Belajar
Belajar adalah kata yang tidak asing didengar telinga. Jika mendefinisikan makna belajar, maka terdapat berbagai teori dengan beragam bahasanya. Namun demikian, dari beragam definisi tersebut dapat ditemukan titik titik pokok dari makna belajar.
Menurut Howard L. Kingsleny[1] belajar adalah proses ketika tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui praktik atau latihan. Selanjutnya American Heritage Psychology secara lebih luas memerinci belajar sebagai: (a) bertambahnya pengetahuan dan keahlian melalui pengalaman belajar (b) perpaduan antara berpikir, mengingat dan menghafalkan (c) kesiapan untuk memperoleh pengalaman.[2]
Cronbach berpendapat bahwa belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.[3] Drs. Slameto juga merumuskan pengertian tentang belajar, menurutnya belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.[4]
Skinner sebagaimana yang dikutip oleh Barlow dalam bukunya Educational Psycology: The Teaching-Learning Process dan dikutip kembali oleh Muhibbin Syah berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif. Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Pertama, belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman. Kedua, belajar ialah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus.[5]
Hintzman (1978) dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat bahwa suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.[6] Jadi, dalam pandangan Hintzman, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme.
Dari berbagai definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar mencakup beberapa hal pokok yang harus ada. Pokok-pokok tersebut adalah individu, praktik, tingkah laku, pengalaman dan perubahan. Dan dari pengertian-pengertian di atas pula dapat ditemukan ciri-ciri belajar. Diantara ciri-ciri belajar[7] ditinjau dari perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut:
1.     Perubahan yang terjadi secara sadar/intensional
2.     Perubahan dalam belajar bersifat efektif fungsional
3.     Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
4.     Perubahan bukan bersifat sementara/temporer
5.     Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah
6.     Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Sedangkan jika ditinjau dari manifestasinya, maka ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut:[8]
1.     Manifestasi kebiasaan
2.     Manifestasi ketrampilan
3.     Manifestasi pengamatan
4.     Manifestasi berpikir asosiatif dan daya ingat
5.     Manifestasi berpikir rasional dan kritis
6.     Manifestasi sikap
7.     Manifestasi inhibisi
8.     Manifestasi apresiasi
9.     Manifestasi tingkah laku afektif

2.2  Teori-Teori Pokok Belajar
a.      Koneksionisme
Teori koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Thorndike menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.[9] Seekor kucing lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan grendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.
Dari penelitiannya dia menyimpulkan bahwa respons lepas dari kurungan itu lambat laun diasosiasikan dengan situasi stimulus dalam belajar coba-coba, trial and error. Inilah kesimpulan Thorndike terhadap perilaku binatang dalam kurungan. Ada tiga hukum belajar yang utama dan diturunkan dari hasil-hasil penelitiannya. Ketiga hukum tersebut adalah:[10]
a)     Hukum efek
Hukum ini menyebutkan bahwa keadaan memuaskan menyusul respons memperkuat pautan antara stimulus dan tingkah laku. Sedangkan keadaan yang menjengkelkan memperlemah pautan itu. Thorndike kemudian memperbaiki hukum efek tersebut sehingga hukuman tidak sama pengaruhnya dengan ganjaran dalam belajar.
b)     Hukum latihan
Hukum ini menjelaskan keadaan seperti dikatakan pepatah “Latihan menjadi sempurrna”. Dengan kata lain, pengalaman yang diulang-ulang akan memperbesar peluang timbulnya respons (tanggapan) yang benar. Akan tetapi pengulangan-pengulangan yang tidak disertai keadaan yang memuaskan tidak akan meningkatkan belajar.
c)     Hukum kesiapan
Hukum ini melukiskan syarat-syarat yang menentukan keadaan yang disebut “memuaskan” atau “menjengkelkan” itu. Secara singkat, pelaksanaan tindakan sebagai respons terhadap suatu impuls yang kuat menimbulkan kepuasan, sedangkan menghalang-halangi pelaksanaan tindakan atau memaksanya menimbulkan kejengkelan.
Ø  Kelemahan teori koneksionisme dalam pelaksanaannya
1)     Belajar menurut teori ini bersifat mekanistis
2)     Pelajar bersifat teacher centered
3)     Anak didik pasif
4)     Teori ini lebih mengutamakan materi
b.     Pembiasaan Klasik (Classical Conditioning)
Teori pembiasaan klasik ini berkembang berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya, Classical Conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973).[11]
Ivan melakukan percobaan terhadap anjing yang diberi stimulus sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Dari hasil percobaannya, sinyal memainkan peran yang sangat penting dalam adaptasi hewan terhadap sekitarnya.[12] Makanan disebut makanan perangsang tak bersyarat (unconditioned stimulus, disingkat US), sedangkan keluarnya air liur karena makanan disebut refleks tak bersyarat (unconditioned reflex, disingkat UR). Sekresi psikis dengan mengeluarkan air liur itu menjadi refleks bersyarat (conditioned reflex, disingkat CR). Pertanda atau sinyal itu disebutnya dengan perangsang bersyarat (conditioned stimulus, disingkat CS).
Teori Classical Conditioning yang ditemukan Ivan didasarkan pada tiga proses, yaitu: pertama, penyamarataan (generalization) sebab respon dikondisikan dengan kehadiran stimulus yang sama melalui keluarnya air liur; kedua, perbedaan (discimination) untuk merespon apabila ada perangsang makanan ke mulutnya; ketiga: pemadaman (extinction) terjadi ketika stimulus disajikan berulang-ulang tanpa adanya stimulus berupa makanan.
Kesimpulan dari percobaan pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS), cepat atau lambat, akan menimbulkan respon atau perubahan yang kita kehendaki dalam CR. Law of respondent conditioning atau hukum pembiasaan adalah jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks ketiga yang terbentuk dari respon penguatan refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. Yang dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan CR.
c.      Pembiasaan perilaku respon
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrus Frederic Skinner (lahir tahun 1974). Seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontroversial. Tema pokok yang mewarnai karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).
Teori operant conditioning oleh B.F Skinner melalui eksperimen seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “skinner box”. Eksperimen Skinner mempunyai kemiripan dengan teori trial and error learning oleh Thorndike. Tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan kepuasan. Sedangkan menurut skinner, fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan. Kedua teori ini secara langsung atau tidak mengakui arti penting law of effect.
Dalam eksperimen terhadap tikus-tikus dalam kotak, digunakan suatu tanda untuk memperkuat respon (disciminative stimulus) berupa tombol lampu dan pemindah makanan. Reinforcement stimulus tersebut berupa makanan. Teori semacam ini mengacu pada dua hukum yang berbeda, law operant conditing dan law operant extintion. Law operant conditing jika timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditing itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau padam. Hukum-hukum ini pada dasarnya sama dengan hukum yang melekat dalam proses belajar teori classical conditioning.
d.     Teori pendekatan kognitif
Aliran kognitif berupaya apa yang terjadi dalam diri seseorang ketika ia belajar. Teori ini lebih menaruh perhatian pada peristiwa-peristiwa internal. Belajar adalah proses pemaknaan informasi dengan jalan mengaitkannya dengan struktur informasi yang telah dimiliki. Peristiwa belajar yang dialami manusia bukan semata masalah respon terhadap stimulus, melainkan adanya pengukuran dan pengarahan diri yang dikontrol oleh otak.
Dalam aliran kognitif, penataan kondisi bukan sebagai penyembah terjadinya belajar, melainkan sekedar memudahkan belajar. Keaktifan individu dalam belajar menjadi unsur yang sangat penting dan menentukan kesuksesan belajar. Munculnya cara belajar siswa aktif (CBSA), ketrampilan proses, dan penekanan pada berpikir produktif merupakan bukti bahwa teori ini telah merambah praktik pembelajaran.
Teori behavioristik dengan metode hubungan stimulus. Responnya mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon (perilaku) tertentu dapat dibentuk karena di kondisi dengan cara tertentu dengan metode drill (pembiasaan) semata. Munculnya perilaku akan semakin apabila diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Hubungan S-R, individual pasif, perilaku yang tampak, pembentukan perilaku dengan penataan kondisi secara ketat, penguatan dan hukuman merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik.

KESIMPULAN
Dari penjelasan tentang definisi belajar dan teori-teorinya dalam pembahasan di atas, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
·       Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
·       Ciri-ciri belajar ditinjau dari segi perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut: Perubahan yang terjadi secara sadar/intensional, Perubahan dalam belajar bersifat efektif fungsional, Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, Perubahan bukan bersifat sementara/temporer, Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah dan Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
·        Ciri-ciri belajar ditinjau dari segi manifestasinya adalah sebagai berikut: Manifestasi kebiasaan, Manifestasi ketrampilan, Manifestasi pengamatan, Manifestasi berpikir asosiatif dan daya ingat, Manifestasi berpikir rasional dan kritis, Manifestasi sikap, Manifestasi inhibisi, Manifestasi apresiasi dan Manifestasi tingkah laku afektif
·       Teori belajar secara global dibagi menjadi empat, yakni: Koneksionisme, Pembiasaan Klasik, Pembiasaan perilaku respon dan Teori pendekatan kognitif.

DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media


[1]       Howard Kingsley, The Nature and Conditions of Learning dalam buku Pendidikan dan Psikologi Perkembangan
[2]       Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan: 163
[3]       Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar: 13
[4]       Ibid: 13
[5]       Muhibbin Syah, Psikologi Belajar: 65
[6]       Ibid: 65
[7]       Syaiful Bahri Djamarah: 15-17
[8]       Muhibbin Syah, Psikologi Belajar: 120-124
[9]       Ibid: 92-94
[10]      Syaiful Bahri, Pikologi Belajar: 25-26
[11]      Muhibbin Syah, Psikologi Belajar: 95
[12]      Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan: 168-169